Pemindahan ibu kota negara (IKN) ke Kaltim disambut positif. Namun, tetap mewaspadai risiko yang ditimbulkan. Salah satunya banjir. Akibat kerusakan alam dampak dari pembangunan.
BALIKPAPAN-Pembangunan calon IKN baru dikhawatirkan berdampak pada keberlangsungan ekosistem lingkungan. Terutama yang ada di Teluk Balikpapan. Pasalnya, hingga kini belum ada publikasi secara resmi mengenai analisis dampak lingkungan (amdal) terkait pemindahan IKN ke Kaltim.
Merujuk data yang dikeluarkan Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Jatam Kaltim, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Walhi Kaltim, Trend Asia, Pokja 30, Pokja Pesisir, dan Forest Watch Indonesia yang dituangkan dalam laporan “Ibu Kota Baru Buat Siapa?”.
Dalam laporan itu, keberadaan ekosistem bakau pada hulu Teluk Balikpapan turut tercakup dalam wilayah IKN atau ring dua terancam keberadaannya. Ekosistem itu membentang sepanjang 17 kilometer dari Kecamatan Balikpapan Barat hingga pesisir teluk di wilayah Kecamatan Penajam, Penajam Paser Utara (PPU).
Total luasan hutan bakau mencapai 12.418,75 hektare yang memanjang dari daerah aliran sungai (DAS) Somber (Balikpapan) mengelilingi lekuk tubuh ekosistem Teluk Balikpapan hingga kemudian membentang ke DAS Riko (PPU).
Pengamat tata kota dan wilayah dari Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Farid Nurrahman menilai desain perencanaan yang sudah diumumkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dipastikan mengganggu ekosistem bakau di Teluk Balikpapan.
Desain “Negara Rimba Nusa” itu dikhawatirkan membuat degradasi bakau di Teluk Balikpapan saat tahapan pembangunannya nanti. Sehingga harus menjadi konsentrasi pemerintah untuk melindungi keberadaan ekosistem tersebut.
“Lalu ada jaringan pipa di Teluk Balikpapan yang harus diperhatikan. Seperti jaringan pipa milik Pertamina. Itu juga perlu diperhatikan pengawasannya,” pesannya mengingatkan kejadian tumpahan minyak di Teluk Balikpapan pada 2018.
Master of Science Real Estate Development & Investment University of Greenwich London itu mengatakan selama ini, pembahasan mengenai amdal seakan tak pernah disinggung. Padahal menjadi hal yang penting saat pembangunan IKN. Yang direncanakan peletakan batu pertama atau groundbreaking bakal dilaksanakan pada pertengahan 2020.
“Amdal-nya harus di-publish dulu, sebelum groundbreaking. Karena kita akan melihat secara detail, apa saja yang akan terdampak lingkungan. Dan itu biasanya melibatkan wilayah yang terkena dampak. Yakni PPU dan Kukar,” ucap dia.
Menurut Farid, tidak perlu memerlukan waktu lama untuk penyusunan amdal tersebut. Jika sudah ada data terkait, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tinggal melakukan sinkronisasi data dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) PPU maupun Kukar. “Kalau belum punya data sama sekali, baru akan memerlukan waktu lama. Kalau hanya menyinkronkan data, biasanya cepat,” terang dia.
Kepala DLH PPU Wahyudi Nuryadi menuturkan pihaknya sudah pernah dilibatkan. Untuk membahas kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), sebelum Presiden Joko Widodo mengumumkan sebagian wilayah PPU dan Kukar menjadi calon IKN baru.
Pertemuan yang berlangsung di Balikpapan itu, melibatkan sejumlah daerah terkait yang akan terdampak IKN. Dengan mengumpulkan masukan dari DLH PPU, DLH Kukar, DLH Balikpapan hingga DLH Kaltim. “Cuma tindak lanjutnya kami belum mendapat lagi,” ungkap dia.
Ekosistem di Teluk Balikpapan juga menjadi perhatian DLH PPU dalam pembahasan penyusunan KLHS. Karena KLHS menjadi rujukan dalam penyusunan amdal pada calon IKN baru. Di mana sebagian wilayah PPU, yakni Kecamatan Sepaku masuk wilayah IKN nanti.
Namun, setelah rapat pembahasan terakhir dengan KLHK, tidak ada pertemuan lanjutan untuk membahas hasil KLHS. “Kami berharap apa yang telah disampaikan saat pembahasan KLHS itu, bisa menjadi perhatian pemerintah pusat. Dan bisa segera di-publish. Agar kami bisa segera menyesuaikan rencana tata ruang wilayah IKN,” harap mantan kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) PPU itu.
Kembali merujuk laporan Koalisi Masyarakat Sipil, rencana pembangunan ring satu IKN yang tepat berada di atas ekosistem bakau primer sudah diusulkan dan direkomendasikan sebagai kawasan konservasi. Atau area perlindungan oleh masyarakat.
Di mana Koalisi Masyarakat Sipil mengingatkan pembangunan dan aktivitas yang merusak ekosistem bakau merupakan pelanggaran terhadap Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
“Arah kebijakannya jelas, berupa peningkatan status fungsi ekosistem mangrove (bakau) ke dalam perlindungan, pengendalian konversi yang berprinsip kelestarian, dan ekosistem mangrove dikelola berbasis masyarakat,” isi laporan tersebut.
Hasil analisis indeks bahaya banjir dan indeks kerentanan banjir yang dilakukan Forest Watch Indonesia (FWI) pada 2018 di Teluk Balikpapan, menyebutkan pesisir Teluk Balikpapan memiliki indeks bahaya banjir dengan nilai mencapai 0,75. Terdapat di sebagian besar hulu Teluk Balikpapan yang notabene akan dibangun lokasi ring satu IKN.
Nilai indeks bahaya banjir tersebut dikategorikan ke zona bahaya tinggi banjir. Yakni pada peruntukan ruang perkebunan, hutan produksi tetap, hutan produksi konversi, permukiman, kawasan perikanan, kawasan industri, dan kawasan tanaman pangan dan hortikultura. “Indeks bahaya banjir adalah nilai kemungkinan terjadinya banjir yang didasarkan frekuensi kejadian banjir pada masa lalu yang tinggi,” papar laporan Koalisi Masyarakat Sipil itu.
Sehingga dapat dikatakan, rencana pembangunan IKN yang akan dibangun di sekitar pesisir Teluk Balikpapan sejatinya merupakan lokasi bahaya banjir yang didasarkan pada masa lalu yang sering terpapar banjir tinggi.
Sementara itu, nilai indeks kerentanan banjir berada pada rentang 0,25 sampai 0,75 yang tersebar di pesisir Teluk Balikpapan. Yakni berada pada peruntukan ruang kawasan perkebunan, kawasan perikanan, hutan produksi terbatas, hutan produksi konversi, dan kawasan industri.
Yang artinya, pesisir Teluk Balikpapan memiliki kemungkinan terpapar banjir jika curah hujan yang datang melebihi kondisi normal. Hasil analisis tersebut, memperlihatkan bahwa Teluk Balikpapan termasuk areal yang paling memungkinkan terjadinya banjir. Sehingga sangat disayangkan jika pembangunan akan dilakukan di atas ekosistem bakau di Teluk Balikpapan.
Sedangkan ekosistem bakau memiliki fungsi ekologis sebagai pelindung dari bahaya banjir dan gelombang pasang. “Penataan ruang dan rencana pembangunan yang ada justru menjerumuskan diri ke ‘jurang’ bencana,” tutup laporan tersebut. (kip/rom/k15/kpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post