Kisah Inspiratif Warga Bontang: Diana Amalia Puspitasari (176)
Jalan Diana Amalia Puspitasari menjadi seorang pengusaha memang tak mudah. Beragam omongan tak sedap sering didapatkan dara kelahiran Bontang 5 September 1993 silam. Namun siapa sangka, kini dia menjadi salahsatu pengusaha pakaian muslim di Kota Taman.
Muhammad Zulfikar Akbar, Bontang
SEJATINYA, Didiy –sapaan akrabnya—sama sekali tidak memikirkan untuk menjadi pengusaha. Sejak lulus dari bangku kuliah di Universitas Negeri Surabaya pada Oktober 2015, lulusan sarjana Akuntansi ini diminta kembali ke Bontang oleh orangtuanya, dengan harapan mendapatkan pekerjaan di Kota Taman. Kala itu, isu defisit belum terlalu santer terdengar di Bontang, sehingga Didiy pun mengikuti kata kedua orangtuanya.
Setibanya di Bontang, Didiy pun bergerak cepat. Puluhan berkas lamaran pekerjaan dikirimkan ke berbagai perusahaan. Namun sayang, dirinya masih ditolak dengan alasan belum membutuhkan karyawan baru. Wajar saja, kala itu Didiy melamar pekerjaan tidak dalam saat mereka membuka lowongan. “Begitu sudah ada isu defisit seperti ini, cari kerja semakin susah,” kata putri dari pasangan Hudiyono dan Siti Fatimah ini.
Lama tak mendapat pekerjaan membuat diri Didiy gelisah. Terlebih, dia yang biasa terlibat kegiatan kemahasiswaan semasa kuliah, ketika tak mendapatkan pekerjaan maupun aktivitas lain, Didiy merasa gundah. Apalagi, dengan gelarnya yang sudah sarjana, dia sering mendapat cibiran dari beberapa orang. “Supaya ada aktivitas, saya ikut kursus menjahit. Saya juga sampai mempromosikan diri ke orang-orang menawarkan les privat,” ungkap anak bungsu dari dua bersaudara ini.
Meski sudah sempat mengajar kursus, namun sepinya lapangan pekerjaan di Kota Taman masih membuat Didiy gundah. Apalagi, kedua orangtuanya belum mengizinkan Didiy untuk mencari pekerjaan di luar Bontang ataupun melanjutkan studi S2. Dia pun memutuskan meminjam modal sebesar Rp 1 juta dari orangtuanya untuk mulai berbisnis aksesoris wanita. “Awal kali bisnis kadang sampai Kanaan, untungnya juga masih kecil. Pernah jualan dapat Rp 5 ribu, karena haus, jadinya dipakai buat beli es, he he,” kenang Didiy yang hobi membaca novel ini.
Merasa bisnisnya tak akan berjalan lancar, Didiy pun mencoba beralih ke usaha menjahit pakaian muslim. Hasil kursusnya selama tiga bulan pun coba diterapkan dengan menjahit pakaian-pakaian yang juga dapat dikenakannya sehari-hari, seperti jilbab, baju atasan, serta rok. Namun lagi-lagi, dirinya kembali mendapat cibiran dari beberapa orang. “Katanya, anak S1 kok jadi penjahit. Tapi saya cuek saja, karena saya ingin tak selalu bergantung pada orangtua terus,” tuturnya.
Keputusannya membuka usaha penjahit ini juga didorong salahsatu temannya yang ingin dibuatkan pakaian oleh Didiy. Namun saat pakaian tersebut selesai dijahit, Didiy justru kebingungan karena tak memberi patokan harga. “Saya bingung, karena tak biasanya memberi harga. Jadi akhirnya dibayar seadanya saja,” kata Didiy.
Entah mengapa, sejak jahitan pertamanya dibeli dan dipromosikan oleh temannya di media sosial, perlahan-lahan pesanan lain mulai berdatangan kepada Didiy. Sejalan dengan itu, Didiy pun juga diterima di salahsatu lembaga kursus. Walhasil, dia pun mulai membagi waktu antara menjahit dan mengajar. “Kalau pagi menjahit, kalau malam ngajar di kursus,” ujar alumnus SMAN 1 Bontang ini.
Usaha menjahitnya kian hari makin laris. Bahkan, Didiy yang semula mengambil barang dari temannya di Madura, kini mulai menjahit sendiri pakaian-pakaian yang dibutuhkan pelanggannya. Dirinya pun mulai belajar mempromosikan barang dagangannya, bahkan melalui media sosial pun digunakannya sebagai media promosi. Rumahnya pun kini disulap menjadi butik agar Didiy bisa lebih berkreasi. “Baru dibuka akhir Desember 2016 kemarin,” katanya.
Kini, Didiy tak menyangka usaha menjahit yang diberi label Akifah Moslem Fashion mulai berkembang pesat. Tiap harinya, Didiy pun bisa menyelesaikan tiga jahitan dengan dibantu oleh ibunya. Rezekinya pun semakin moncer, kala Didiy juga diterima kerja disebuah perusahaan. “Karena pagi sampai sore kerja, selepas kerja langsung menyelesaikan jahitan. Kalau tidak segera dikerjakan, bisa tidak selesai,” ucap Didiy.
Ada yang unik dalam memberikan harga kepada produk-produk yang dibuat Didiy. Dia mengaku, sebelum menerima pesanan dari pelanggan, terlebih dulu Didiy melihat profil dari pelanggannya seperti dari media sosial. Jika dirasa pelanggannya ekonominya menengah ke bawah, maka dia akan memberikan harga di bawah harga wajar. Namun jika ekonominya menengah ke atas, maka dia akan memberikan harga sewajarnya. “Jadi penghasilannya relatif, karena harganya juga saya tidak pasti, dilihat orangnya dulu kemampuan ekonominya,” tutur Didiy.
Didiy berharap, kelak usaha menjahitnya dapat semakin berkembang. Bahkan, Didiy berencana akan mengembangkannya menjadi usaha konveksi dengan melayani perusahaan maupun sekolah di Bontang. “Saya juga tak menyangka, ternyata pintu rezeki saya ada di menjahit. Mumpung masih muda, jangan takut untuk berwirausaha. Apalagi di tengah kondisi saat ini. Berusaha mengetok pintu rezeki sampai dibuka, Insya Allah jika terus berusaha akan dibukakan jalan rezekinya,” pungkasnya. (bersambung)
Tentang Didiy
Nama: Diana Amalia Puspitasari
TTL: Bontang, 5 September 1993
Alamat: Parikesit
Ortu: Hudiyono – Siti Fatimah
Saudara: Firdaus Surya Pradana
Pendidikan:
TK Yayasan Pupuk Kaltim
SD 1 Yayasan Pupuk Kaltim
SMP Yayasan Pupuk Kaltim
SMAN 1 Bontang
S1 Akuntansi Universitas Negeri Surabaya
Hobi: Baca Novel
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post