SAMARINDA – Ratusan Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Koperasi Samudera Sejahtera (Komura) mendatangi Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Kepelabuhan (KSOP) Samarinda kemarin (27/3). Mereka menuntut segera diperbolehkan kembali bekerja. Pasalnya, sudah 11 hari mereka libur setelah operasi tangkap tangan (OTT) oleh Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) Bareskrim Polri.
Para buruh pelabuhan itu juga mempertanyakan kegiatan bongkar-muat di Terminal Peti Kemas (TPK) Palaran Samarinda yang tetap berjalan tanpa mereka. Informasi dari pekerja, kegiatan bongkar-muat selama ini dilakukan pihak PT Pelabuhan Samudera Palaran (PSP). Mereka mengancam akan memboikot kegiatan bongkar-muat di TPK Palaran jika permintaan tak dipenuhi.
Menurut para buruh tersebut, kegiatan di TPK Palaran sekarang adalah ilegal. Hal itu berlandas Peraturan Menteri Perhubungan nomor: KM 35/2007. Isi peraturan itu menyebutkan, kegiatan bongkar-muat di pelabuhan mesti dilakukan oleh TKBM.
Aksi yang dikoordinasi oleh para mandor TKBM tersebut sempat membuat ruas Jalan Yos Sudarso macet. Tak ingin suasana semakin panas, Kepala KSOP Samarinda Abdul Rachman memanggil perwakilan Komura dalam pertemuan di ruang rapat KSOP Samarinda.
Rapat yang berlangsung hingga pukul 17.30 Wita itu juga dihadiri berbagai stake holder, yakni Pelabuhan Indonesia (Pelindo) IV, Polresta Samarinda, dan pemakai jasa seperti Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI), dan Indonesian National Shipowners Association (INSA).
Rapat berlangsung cukup alot. Pihak Komura mendesak KSOP agar koperasi tersebut segera aktif bekerja seperti sebelumnya. Bahkan, para TKBM menuturkan, yang penting bekerja sampai menunggu ketetapan harga.
Rapat itu juga membahas penetapan harga yang sebelumnya dirapatkan oleh KSOP dan stakeholder. Informasi yang dihimpun media ini, harga yang diajukan oleh pengguna jasa adalah Rp 10 ribu per kontainer. Tentu hal itu berujung penolakan dari para TKBM. Harga itu berkiblat dari harga bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Tentu para TKBM menolak harga tersebut. Dalam kesempatan kemarin juga mereka mengajukan nilai tawar kepada KSOP dan para stakeholder. Angka yang diajukan pihak Komura, antara lain, biaya untuk kontainer 40 feet dengan muatan menjadi Rp 150 ribu dari Rp 209.400 per kontainer.
Sementara itu, untuk kontainer kosong menjadi Rp 100 ribu dari Rp 145.600. Nah, untuk kontainer 20 feet dengan muatan menjadi Rp 100 ribu dari Rp 138.900. Sedangkan yang kosong menjadi Rp 50 ribu dari Rp 91.800 per kontainer. Perwakilan Komura menerangkan, harga tersebut hanya ongkos buruh belum termasuk yang lain seperti simpanan koperasi atau semacamnya.
Mendengar penawaran tersebut, para stakeholder khususnya dari asosiasi mengaku tidak bisa serta-merta menyetujui. Agus Sakhlan, ketua DPC INSA Samarinda itu, mesti berbicara dengan anggota asosiasi yang dipimpinnya. Pasalnya, yang akan membayar biaya tersebut adalah para anggotanya. “Jangan sampai saya disalahkan, padahal niatnya ingin berbuat baik,” ujarnya.
Rapat tersebut menghasilkan sejumlah poin-poin kesepakatan yang selanjutnya dibawa ke pusat. Abdul Rachman yang menjadi pemimpin rapat menuturkan, dia akan diundang rapat oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub). “Di sana aspirasi Anda (peserta rapat) akan saya sampaikan,” ujarnya.
Diwawancara setelah rapat, Rachman mengaku, tidak berani menyetujui hasil rapat, karena belum ada payung hukumnya. “Lebih baik payung hukumnya dibuat terlebih dahulu, baru bisa menentukan langkah selanjutnya,” ujarnya.
Dia meminta para buruh bersabar. Kepala KSOP yang baru menjabat pada November lalu itu mengungkapkan, paling lambat pada Kamis (30/3) mendatang rapat di Kemenhub akan dilakukan. Intinya, dia meneruskan, pihaknya tak tutup mata dengan keadaan para buruh. Dia berharap, pada rapat di pusat tersebut ada tarif yang sudah ditetapkan.
Sementara itu, penasihat hukum sekaligus juru bicara Komura, Sutrisno menuturkan, dia senang instansi terkait memikirkan nasib para buruh. “Semoga akan ada kabar baik dari rapat di pusat,” ujarnya.
Ditanya soal harga yang diajukan stakeholder, dia mengatakan, tak habis pikir dengan harga tersebut. Sutrisno mengungkapkan, jangan samakan Samarinda dengan Surabaya. Di sana, kata dia, buruh bisa hidup dengan Rp 10 ribu per kontainer lantaran jumlah kapal yang banyak bahkan mengantre. “Di Samarinda belum tentu setiap hari ada kapal,” ujarnya. Selain itu, jumlah kontainer yang dibawa setiap kapal belum tentu 300 kontainer seperti di Surabaya. Sedangkan di TPK Palaran, ada kapal yang tambat saja sudah cukup.
Bilamana harga yang mereka ajukan ditolak pusat atau memberatkan Komura, Sutrisno dan timnya sudah menyiapkan upaya hukum dan berkoordinasi pihak terkait.
Terpisah, ketua Komura Jafar Abdul Gaffar mengatakan, penghentian seluruh aktivitas bongkar-muat, jelas merugikan anggota. Dengan tidak bekerja, tentu tak mendapat penghasilan. Mengenai aksi demonstrasi anggotanya, politikus Partai Golkar itu mengaku tak tahu-menahu. Saat kini, sedang tidak di Samarinda.
“Tidak ada konfirmasi ke saya. Tidak tahu tuntutannya seperti apa,” ujarnya melalui sambungan seluler.
Jafar lantas meminta media ini menanyakan langsung kepada yang turut dalam aksi tersebut. Tapi, dia menegaskan tak ada menginstruksikan anggotanya untuk melakukan tindakan demikian. “Sudah ya, tanya ke mereka saja,” kata dia mengakhiri percakapan.
Diketahui, Tim Saber Pungli Mabes Polri dan Polda Kaltim melakukan OTT di TPK Palaran, dua pekan lalu. Dalam kasus ini, kepolisian sudah menetapkan tiga tersangka. Yakni, Dwi Hari Winarno, sekretaris TKBM Komura. Dua lainnya adalah ketua Koperasi Serba Usaha (KSU) Pemuda Demokrat Indonesia Bersatu (PDIB) Hery Susanto dan sekretarisnya, NA. (*/fch/ril/rom/kpg/gun)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post