bontangpost.id – Majelis hakim Pengadilan Tipikor Samarinda yang dipimpin Hasanuddin, memberi vonis untuk kuasa direktur CV JAR selama 6 tahun pidana penjara. Hartono, dinilai telah terbukti secara sah memanipulasi dokumen royalti penjualan batu bara yang dibayarkan CV JAR ke kas negara pada 2019.
“Dengan demikian, majelis bersepakat dalam penerapan pasal yang diajukan penuntut umum,” ucapnya membaca amar putusan dalam persidangan yang digelar secara virtual, Kamis (24/2). Dalam kasus itu, Hartono diketahui terlibat langsung dalam operasional CV JAR mengingat dirinya diangkat sebagai direktur Cabang CV JAR dari sisi kepemilikan Syamsu Alam.
Sepanjang persidangan, terungkap fakta jika izin usaha pertambangan (IUP) CV JAR mengalami dualisme kepemilikan. Hal itu terjadi lantaran Joni Juanda, pemilik awal IUP, menjual izin tersebut ke dua orang berbeda, yakni Syamsu Alam dan Diki Kurniawan.
Dualisme ini membuat akun dan kata sandi CV JAR yang terkoneksi ke Minerba One Data Indonesia (MODI), Minerba Online Monitoring System (MOMS), dan e-PNBP milik CV JAR bermasalah. Terdakwa yang awalnya sudah mengetahui akun dan kata sandi milik perusahaan pertambangan yang memiliki konsesi di Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara itu, diam-diam mengubah kata sandi tersebut. Bahkan terdakwa seolah-olah tak tahu masalah yang terjadi. Kemudian berangkat bersama beberapa pihak ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta untuk mengaktivasi ulang atau membuat akun baru.
“Hal itu diperlukan lantaran semua proses administrasi dan pembayaran royalti pertambangan yang menjadi pendapatan nasional bukan pajak (PNBP) harus dilakukan lewat akun tersebut,” tutur Hasanuddin didampingi hakim anggota, Arwin Kusmanta dan Suprapto.
Sanggahan terdakwa soal tak pernah adanya rencana kerja anggaran belanja (RKAB) CV JAR pada 2019, terbantahkan jika menilik keterangan saksi dan bukti-bukti yang terurai dalam persidangan. “Dari bukti yang tersaji, nyatanya terdakwa sempat mengajukan RKAB CV JAR namun belum mendapat persetujuan dari instansi terkait,” lanjutnya.
Sanggahan lain yang diajukan terdakwa dalam pembelaan atau pleidoi, soal dokumen pengapalan yang tak pernah dibuat. Sehingga, tak mungkin CV JAR melakukan aktivitas jual beli batu bara pada 2019 bisa sepenuhnya terbantah. Alasannya, terdakwa pernah mengajukan uji kualitas untuk mendapat laporan analisis atau report of analysis (RoA) kadar emas hitam yang dikeruk CV JAR. Pengajuan itu diajukan ke beberapa surveyor pada 2019.
Hasilnya, batu bara hasil eksplorasi CV JAR, kala itu, memiliki gross calorific value (GCV) atau nilai kotor kalori batu bara sekitar 6.668 kkal per kg dan dikenai tarif royalti sebesar 7 persen. “RoA ini menjadi dasar awal perusahaan tambang untuk memproses jual beli batu bara hasil eksplorasi. Dokumen ini pula jadi titik awal proses jual-beli yang dikatrol pemerintah dengan penerapan royalti. RoA tak bisa diterbitkan jika tak ada rencana penjualan batu bara,” ulasnya.
Bukti sebanyak 14 transaksi di akun e-PNBP CV JAR dinilai menjadi bukti kuat adanya aktivitas jual beli di CV JAR pada 2019. Namun, transaksi-transaksi itu tak mencantumkan RoA dengan GCV hasil survei surveyor yang bersaksi di persidangan. Dari laporan transaksi itu, diketahui GCV yang dilaporkan berkisar 4.700 kkal per kg sehingga tarif royalti yang dibayarkan ke negara hanya 3 persen.
Perbedaan laporan ini jelas jadi tanggung jawab terdakwa, lantaran hanya terdakwa yang sempat mengubah kata sandi dari akun e-PNBP CV JAR.
Majelis hakim sepakat dengan penuntut umum dalam menerapkan Pasal 2 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto UU 20/2001 dalam memutus perkara ini. Selain memberikan pidana penjara selama 6 tahun, majelis hakim juga membebankan denda sebesar Rp 400 juta subsider 6 bulan pidana kurungan. Untuk kerugian negara, majelis punya pendapat berbeda selepas menimbang fakta persidangan. Terdakwa hanya menikmati senilai Rp 575, 6 juta dari total kerugian negara atas manipulasi data GCV tersebut.
“Jika mengacu hasil surveyor dengan GCV 6.668 kkal per kg dan dikenai tarif royalti sebesar 7 persen, maka royalti yang wajib dibayar CV JAR pada 2019 sebesar Rp 5,2 miliar. Namun lewat manipulasi dokumen itu, royalti yang dibayarkan merosot jadi Rp 720 juta,” bebernya.
Sehingga, ada potensi pendapatan negara yang hilang sebesar Rp 4,5 miliar dari manipulasi dokumen RoA tersebut. Namun, kerugian ini muncul tak hanya akibat terdakwa. Majelis menilai, tak hanya Hartono yang bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan koorporasi CV JAR. Terlebih ada struktur kepengurusan yang memiliki tanggung jawab atas masing-masing. “Terdakwa dibebankan uang pengganti atas kerugian negara sebesar Rp 575,6 juta subsider 4 tahun 6 bulan pidana penjara,” tutup Hasanuddin.
Atas putusan tersebut, baik penuntut umum atau terdakwa lewat kuasa hukumnya mengajukan pikir-pikir selama tujuh hari ke depan. Selepas persidangan, JPU Rosnaeni Ulva yang dikonfirmasi awak media ini menilai masih perlu menelaah putusan perkara itu sebelum menentukan banding atau tidak.
“Dikoordinasikan dulu dengan atasan. Besaran pidana memang berbeda dari apa yang kami ajukan. Tapi, untuk dasar pertimbangan sudah sesuai,” singkatnya.
Diketahui, pada 24 Januari 2022, JPU menuntut Hartono selama 8 tahun pidana penjara dengan denda sebesar Rp 400 juta subsider 6 bulan. JPU juga meminta agar royalti sebesar Rp 4,53 miliar yang tak masuk ke kas negara lantaran manipulasi laporan oleh terdakwa, diterapkan menjadi uang pengganti kerugian negara yang dibebankan ke terdakwa.
Jika uang pengganti tak dibayar paling lambat 30 hari setelah perkara inkrah. Maka harta benda terdakwa akan disita untuk menutupi kerugian negara tersebut. jika tak juga mencukupi maka diganti dengan pidana penjara selama 4 tahun. (riz/k15)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post