bontangpost.id – Pemerintah mencabut limbah batu bara dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Berdasarkan lampiran 14 Peraturan Pemerintah (PP) 22/2021 disebutkan, jenis limbah batu bara yang dihapus dari kategori limbah B3 adalah fly ash dan bottom ash (FABA).
Hal itu menimbulkan pro-kontra. Disambut baik pengusaha batu bara, tetapi digugat oleh masyarakat. Pemerintah dianggap tak berpihak pada kesehatan masyarakat.
Di Samarinda, Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI) menyambut baik keputusan ini. Ketua APBI Samarinda Eko Priyatno mengatakan, limbah yang dimaksud adalah limbah di pabrik sisa pembakaran. “Sejauh ini di Samarinda tidak ada masalah. Soalnya batu bara langsung diangkut. Debu juga sudah ditangani khusus di stock pile,” ucapnya.
Sementara itu, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Nasional (Jatamnas) Merah Johansyah menyebutkan, di Kaltim kasus FABA pernah terjadi di area tambang milik PT Indominco Mandiri. Pada Desember 2017, Pengadilan Negeri Tenggarong menjatuhkan hukuman terhadap PT Indominco Mandiri. Yakni, pidana denda Rp 2 miliar karena terbukti bersalah melakukan pembuangan (dumping) limbah tanpa izin.
Disebut Merah, perusahaan ini sudah divonis bersalah karena pengelolaan buruk FABA. Ternyata di lapangan tidak terjadi pemulihan. Nilai denda pun sangat kecil dan tidak membuat jera.
“Begitu juga warga di dekat PLTU Mpanau, Sulawesi Tengah. Warga yang sakit dan mengadu ke pemerintah justru diminta untuk membuktikan sendiri keterkaitan penyakit yang diderita dengan dampak FABA operasi PLTU. Jadi, perlindungan warga dari limbah FABA itu omong kosong. Apalagi sekarang ketika FABA bukan lagi beracun dan berbahaya. Dari kasus itu, kebijakan ini akan membuat pebisnis batu bara semakin ugal-ugalan membuang limbah dan terbebas dari hukum,” kata Merah Johansyah yang sebelumnya merupakan Dinamisator Jatam Kaltim itu.
Dalam konferensi pers yang sama dengan Jatam, Fajri Fadhillah dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, dihapusnya FABA dari daftar limbah B3 adalah keputusan bermasalah dan berbahaya. Batu bara mengandung berbagai jenis unsur racun termasuk logam berat dan radioaktif.
Ketika batu bara dibakar di pembangkit listrik, maka unsur beracun ini terkonsentrasi pada hasil pembakarannya. Yakni, abu terbang dan abu padat (FABA). Ketika FABA berinteraksi dengan air, unsur beracun ini dapat terlindikan secara perlahan, termasuk arsenik, boron, kadmium, hexavalent kromium, timbal, merkuri, radium, selenium, dan thallium ke badan lingkungan.
“Unsur-unsur ini sifatnya karsinogenik, neurotoksik dan beracun bagi manusia, ikan, biota air, dan satwa liar. Alih-alih memperkuat implementasi pengawasan dan penjatuhan sanksi pengelolaan abu batu bara dari pembangkit yang akan memperkecil risiko paparan, pemerintah justru melonggarkan aturan pengelolaan abu batu bara dengan mengeluarkannya dari daftar Limbah B3,” ujar Fajri Fadhillah.
Meski begitu, keputusan ini diklaim sebagai hasil kajian ilmiah. Dalam keterangan persnya kemarin, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (PLSB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati mengungkapkan, pemerintah punya alasan kuat. “Ada saintifiknya. Jadi, semua berdasarkan scientific based knowledge,” kata dia.
Lanjut dia, pembakaran batu bara pada PLTU sudah menggunakan pulverize coal atau pembakaran batu bara menggunakan temperatur tinggi. Sehingga karbon yang tak terbakar dalam FABA menjadi minimum dan lebih stabil. Rosa menambahkan, FABA yang masuk kategori non-limbah B3 hanya dari PLTU.
Dilansir dari laman Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang diunggah pada September 2020, FABA merupakan limbah B3. Dihasilkan dari pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan industri berbahan bakar batu bara lainnya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan KESDM pada 2018, proyeksi kebutuhan batu bara hingga 2027 sebesar 162 juta ton. Prediksi potensi FABA yang dihasilkan sebesar 16,2 juta ton, dengan asumsi 10 persen dari pemakaian batu bara.
Banyaknya limbah abu batu bara yang dihasilkan tidak seiring dengan cara penanganannya. Sebagian besar masih terbatas melalui penimbunan lahan (landfill). Jika tidak dimanfaatkan dan tidak ditangani dengan baik, maka dapat berpotensi menimbulkan pencemaran.
Saat ini FABA baru dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi bangunan dan jalan. Pemanfaatan lainnya belum banyak. Karena masih tahap kajian dan penelitian sebagai untuk mendapatkan izin pemanfaatannya. (nyc/riz/k8)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: