DESA Bukit Raya, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), menjadi lokasi penambangan batu bara dua perusahaan besar. Ada pula perusahaan kecil yang mengangkut emas hitam itu di desa yang tak jauh dari jalur II Samarinda-Tenggarong itu.
Pada Senin (6/11) lalu, Metro Samarinda menemukan dua lubang tambang yang berlokasi di RT 9, Desa Bukit Raya. Tiga hari yang lalu, lubang itu menjadi saksi bisu kematian Ari Wahyu (12).
Informasi yang dihimpun media ini, di desa tersebut terdapat PT Bukit Baiduri Energi (BBE) yang beroperasi. Data yang dirilis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, sejak 2016 lalu, perusahaan itu dipimpin Matheus Rukmasales Arif. Di jajaran komisaris dan direktur, terdapat mantan Kapolda Kaltim dan purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Perusahaan itu masih aktif melakukan penambangan di desa tersebut. Selain itu, ada pula PT Multi Harapan Utama (MHU). Namun luas lahan yang digarap perusahaan itu, tidak seluas lahan garapan PT BBE.
Dari pantauan Metro Samarinda, di sebelah selatan desa itu terdapat hamparan sawah. Sekira 700 meter dari kantor desa, terlihat gundukan tanah bekas tambang.
Warga setempat berinisial TR (35) mengaku pernah mempersoalkan keberadaan dua perusahaan tersebut. Perusahaan menggunakan jalan umum untuk pengangkutan batu bara. Warga kerap terganggu karena debu yang bertebaran pada musim kemarau.
“Sempat ada polisi yang datang ke sini. Tetapi truk-truk pengangkut batu bara itu tiba-tiba hilang begitu saja,” ungkapnya.
Kepala Desa Bukit Raya, Sutardi menyebut, dua perusahaan itu beroperasi di lahan pertanian warga. Hal itu dianggap mengganggu pengembangan pertanian di wilayah itu.
“Kalau mengganggu, jelas mengganggu ya. Tetapi kami serba repot di desa ini. Karena sudah ada perizinan dari Dinas Pertambangan. Kami sudah sampaikan, kalau bisa perusahaan menghindari lahan pertanian,” jelasnya.
Kata Sutardi, lahan yang digunakan perusahaan itu pada umumnya bekas ladang warga. Sementara sawah, belum ada yang beralih fungsi menjadi lahan pertambangan batu bara. “Kalau PT BBE ini hanya menggunakan bekas ladang saja. Sedangkan sawah, masih utuh. Sekarang sawah luasnya 520 hektare. Itu enggak masuk lahan pertambangan,” terangnya.
Meski sawah belum digarap dua perusahaan itu, bukan berarti tidak ada keluhan dari penduduk setempat. Sutardi kerap menerima kritikan warga terkait kebisingan.
“Selain itu, warga mengeluhkan air keruh. Tetapi itu enggak sering sih. Terkadang petani juga meminta perawatan saluran irigasinya diperhatikan perusahaan. Kalau gangguan tanaman, sejauh ini belum ada,” ucapnya.
Tak sedikit pula warga yang meminta penghentian operasi perusahaan batu bara di Desa Bukit Raya. Namun sebagian penduduk setempat merasa diuntungkan atas aktivitas pengerukan emas hitam itu.
Di tengah pro dan kontra itu, Sutardi menyerahkan pengambilan kebijakan pada pemerintah provinsi. “Kami taat pada undang-undang. Kalau dari pemerintah provinsi mau menutup tambang itu, silakan saja,” katanya.
Dia menyebut, perusahaan sering memberikan bantuan dana pada pemerintah desa. Dana itu digunakan untuk perayaan 17 Agustus, bantuan kepada sekolah, irigasi, perbaikan jalan, dan bantuan pada kelompok budi daya ikan.
“Kalau bantuan untuk warga seperti ganti rugi karena kebisingan, saya belum pernah dengar. Enggak ada bantuan setiap bulan ke warga yang terdampak,” jelasnya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post