bontangpost.id – Kemendikbud RI telah menerbitkan protokol kesehatan Covid-19 selama penerapan tatanan normal baru (the new normal) di sekolah. Ada 19 protokol yang mesti ditaati, salah satunya menjaga jarak bangku antar siswa. Minimal 1,5 meter.
Dikatakan Kabid Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Bontang Saparuddin, penerapan tatanan normal baru (the new normal) di sekolah cukup sukar dilakukan. Bahkan sangat riskan.
Bila protokol ini diterapkan, maka praktis jumlah bangku dan siswa di kelas akan berkurang.
Rata-rata rombongan belajar (rombel) di Bontang berukuran 8×9 meter. Setiap kelas dihuni 32 siswa, dan masing-masing menduduki satu bangku.
Nah, bila regulasi tatanan normal baru diterapkan, maka kemungkinan satu kelas hanya diisi 20 bangku untuk 20 siswa. Sementara ada 12 siswa yang tidak kebagian bangku. Praktis harus ada sistem bagi waktu atau sif dilakukan pihak sekolah.
Kata Sapar, penerapan sistem sif di SD untuk kelas 1-3 tidak jadi soal. Karena saban hari sebelum pandemi pun, jam belajar mereka memang tidak panjang. Tapi pembagian jam belajar seperti ini sulit untuk kelas atas. Dimulai SD kelas 4-6. Apalagi SMP dan SMA.
“Susah kalau mau terpakan sif. Pada akhirnya ada masalah baru yang hadir,” beber Saparuddin.
Untuk menyelesaikan persolan sif itu, menambah jumlah rombel dapat menjadi pilihan. Tapi susah. Bahkan nyaris tak mungkin diambil. Karena tak ada alokasi anggaran untuk itu.
Fokus pemerintah selama pandemi ialah kesehatan, pemulihan ekonomi, dan memperkuat jaringan pengaman sosial masyarakat. Bukan menambah rombel baru. “Anggarannya mana, enggak ada,” kata Sapar.
Lebih jauh dijelaskan Sapar, katakanlah pada akhirnya pemerintah sepakat menerapkan sistem sif, dan memangkas jam belajar mengajar di sekolah. Ini bukan tanpa masalah. Dalam protokol juga disebutkan, guru yang berusia diatas 45 tahun atau mereka yang memiliki penyakit bawaan seperti obesitas, dibetes, penyakit jantung, paru, pembuluh darah, hamil, dan daya tubuh turun, tidak disarankan mengajar di kelas. Tapi mengajar dari rumah.
Persoalannya, khusus di Bontang, banyak guru yang mulai menginjak masa pensiun. Usia mereka di atas 45 tahun.
“Bahkan diperkirakan 2021-2022 terjadi kekosongan guru, karena banyak yang pensiun. Nah kalau begini, siapa sudah yang mengajar,” ujarnya.
Rapat Pemkot Bontang bersama instansi terkait kala membahas persiapan tatanan normal baru pada Kamis (28/5/2020), disepakati pembahasan protokol di sekolah untuk sementara ditangguhkan. Setidaknya hingga Juli 2020. Pemerintah masih mencari formulasi yang tepat dan aman. Dan untuk sementara, metode pembelajaran jarak jauh (PJJ) masih dipertahankan untuk semua jenjang pendidikan sekolah.
Masalah lainnya, sulitnya menerapkan protokol di sekolah karena regulasi tersebut membuat kegiatan belajar mengajar (KBM) tidak efektif. Banyak waktu habis hanya untuk skrining kesehatan.
Misalnya, sebelum masuk kelas, murid wajid mengikuti skrining suhu tubuh menggunakan thermometer tembak. Dengan asumsi rata-rata satu berisi 32 anak, dan setiap anak menghabiskan waktu skrining sekitar 1 menit. Praktis proses belajar mengajar di kelas molor 32 menit.
“Tapi skrining sudah dilakukan sebelum masuk sekolah. Itu baru asumsi satu kelas. Nah, kalau satu sekolah ada 600-an siswa. Berapa banyak waktu dihabiskan cuma buat skrining suhu tubuh,” bebernya.
Belum lagi soal mobilitas guru yang dibatasi. Setiap guru diimbau hanya mengajar di satu ruang kelas saban harinya. Kata Sapar, ini mungkin tak masalah bila diterapkan di SD. Karena di tiap pembagian kelas memang ada guru kelas.
Jadi soal bila mobilitas guru di SMP dan SMA dibatasi. Karena umumnya, tiap guru hanya mengajar satu mata pelajaran. Dan akan berganti kelas sesuai jadwal pelajaran yang sudah disusun sekolah.
“Kami enggak mungkin batasi pergerakan guru. Kalau ganti pelajaran tidak mungkin enggak pindah,” kata Sapar.
Ada persoalan lain, dan ini paling disorot bila tatanan normal baru diterapkan utuh di sekolah. Yakni soal kedisiplinan murid dalam menjalankan protokol kesehatan Covid-19. Katakanlah yang paling standar; seperti pakai masker, jaga jarak, dan rajin cuci.
Kata Sapar, untuk mendisiplinkan murid SMA atau sederajat menjalankan protokol ini boleh jadi tak sukar. Sebab pemahaman mereka soal bahaya Covid-19 cukup baik. Beda halnya untuk anak Paud, TK, SD, dan SMP, mereka sekadar tahu soal Covid-19, tapi tidak menganggap serius. Walhasil, protokol yang mestinya dijaga ketat, justru dibaikan.
“Kemendikbud sarankan tiap meja dibuatkan bilik pemisah. Kita tahu bagaimana sulitnya mengatur murid SD. Belum lagi untuk TK, atau Paud. Diminta pakai masker belum tentu mau. Dan biliknya itu bisa jadi dimainkan, dirusak. Susah lah. Jangan main-main soal ini. Mereka generasi penerus bangsa,” tegasnya. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post