SAMARINDA – Pemerintah pusat menetapkan peningkatan upah minimal provinsi (UMP) sebesar 8,03 persen di 2019. Namun kebijakan tersebut ditentang beragam organisasi buruh yang tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Lantas, bagaimana skema pengupahan yang layak sesuai aturan yang berlaku?
Ahmad (27), seorang buruh sebuah perusahaan perkayuan di Samarinda, mengaku setiap bulan menerima gaji yang tak menentu. Kadang dia mengantongi Rp 2,5 juta per bulan. Tak menutup kemungkinan pula, jika ada jam kerja tambahan, pria bujang itu menerima gaji senilai Rp 3 juta per bulan.
“Sejak dahulu enggak ada gaji yang benar-benar tetap. Namanya buruh kontrak, yang penting kami bekerja. Ya enggak pernah sih persoalkan gaji gitu,” katanya pada Metro Samarinda, Sabtu (20/10) kemarin.
Disinggung kebutuhan bulannya, Ahmad menyebut, gaji yang diterimanya tidak pernah ditabung. Pasalnya sepuluh hari sebelum gajinya diberikan perusahaan, uang yang diterimanya di bulan sebelumnya telah habis digunakan untuk kebutuhan hidup.
“Iya sih, memang enggak pernah nabung. Segitu yang didapat, itu juga yang habis untuk makan, minum, pakaian, dan lainnya,” beber dia.
Jika diurai, Ahmad harus membayar indekos setiap bulan Rp 350 ribu. Kemudian bayar air dan lampu Rp 120 ribu. Sedangkan untuk makan, dia masak sendiri. “Setiap bulan beli beras satu karung yang beratnya 10 kilogram. Kadang habis. Kadang juga enggak habis. Tergantung sering masak atau enggak di kos,” tuturnya.
Di pasaran, beras dengan jenis premium berat 10 kilogram dijual Rp 120 ribu. Ada pula dijual dengan harga Rp 130 ribu. Bergantung jenis yang dipilih.
Kebutuhan lainnya yakni pengeluaran untuk transportasi. Paling tidak, setiap pekan dia harus mengeluarkan uang untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) Rp 50 ribu. Artinya setiap bulan, Ahmad mesti menyisihkan Rp 200 ribu.
Dia juga mengeluarkan uang Rp 30 ribu untuk membeli sayur, ikan, dan bumbu masakan. Biaya tersebut digunakan untuk makan dua kali setiap hari. Dengan demikian, sebulan dia mesti menyediakan uang Rp 900 ribu.
Kemudian untuk membeli sabun mandi, sampo, sabun cuci, parfum, sikat gigi, dan pasta gigi, setiap bulan dia menyediakan uang Rp 300 ribu. “Kadang malas juga sih cuci pakaian sendiri. Paling enggak ya empat kali sebulan ke laundry. Di situ, saya keluarkan uang Rp 200 ribu,” ungkapnya.
Jika dikalkulasi seluruh pengeluaran tersebut, maka setiap bulan Ahmad harus mengeluarkan uang Rp 2.190.000. Pengeluarkan itu belum termasuk kebutuhan lain seperti servis motor, membeli pakaian baru, dan kebutuhan tak terduga lainnya.
Ketua Serikat Buruh Borneo Indonesia (SBBI) Kaltim, Nason Nadeak mengatakan, penetapan peningkatan gaji buruh yang dilakukan pemerintah pusat belum memperhatikan kebutuhan setiap pekerja di Indonesia.
“Penetapan UMP itu seharusnya berdasarkan hasil survei. Pemerintah membentuk tim yang menyurvei harga-harga di kabupaten/kota. Dasar patokannya untuk satu orang karyawan bujangan. Jadi enggak pakai rumus. Setelah survei itu, maka sampailah pada kebutuhan layak buruh,” terangnya.
Dari hasil survei tersebut, kemudian pemerintah menetapkan UMP sesuai kebutuhan layak buruh. Apabila perusahaan tidak mampu memenuhinya, pihak manajemen dapat mengajukan keberatan pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) provinsi atau kabupaten/kota.
“Lalu nanti Disnakertrans melihat kemampuan perusahaan. Jadi enggak mesti juga sesuai dengan ketetapan pemerintah. Tetapi perusahaan harus terbukti benar-benar tidak mampu dengan UMP yang ditetapkan pemerintah,” katanya.
Nason mengatakan, kebijakan pemerintah menaikkan UMP sebesar 8,03 persen itu merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Sejatinya, jika mengacu pada Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kenaikan upah mestinya merujuk pada kebutuhan hidup layak buruh di setiap daerah.
“Dilihat dari dua aturan itu, mestinya pemerintah merujuk pada undang-undang. Bukan di PP nomor 78/2015. Undang-undang tidak pernah menetapkan besarnya kenaikan gaji buruh. Gaji itu harus merujuk pada kehidupan layak,” imbuhnya.
Apabila pemerintah mendasarkan kebijakan itu pada Undang-Undang nomor 13/2003, bisa saja kenaikan UMP lebih kecil dari hasil penetapan pemerintah. “Kalau rujukannya undang-undang dan survei hidup layak buruh, bisa jadi kenaikan itu kurang dari 8 persen,” sarannya.
Pun demikian, gaji buruh juga tidak dapat didasarkan pada kemampuan perusahaan. Sebab setiap perusahaan berbeda daya dukungnya dari segi finansial, penilaian kinerja, dan kebijakan internal manajemen.
“Kalau berdasarkan kemampuan perusahaan, pasti akan berbeda-beda. Setiap perusahaan itu tidak sama. Jadi harus tetap merujuk pada undang-undang,” tegas Nason. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post