bontangpost.id – Aktivitas tambang terduga ilegal di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) yang kian meresahkan kini kembali berdampak terhadap lingkungan dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Tak ingin diam saja, ratusan warga yang didominasi Ibu Rumah Tangga (IRT) dari lima RT di Kelurahan Mangkurawang, Kecamatan Tenggarong melakukan aksi unjuk rasa pada Rabu (31/1). Untuk menolak penambangan yang terletak di Dusun Sukodadi ini, karena telah membawa dampak negatif terhadap kehidupan mereka.
Berdasarkan pantauan awak media di lokasi, terdapat tiga titik penambangan. Dua diantaranya masih beraktivitas, sedangkan satunya sudah tidak aktif. Di lapangan sendiri, terdapat tiga ekskavator. Dari aktivitas penambangan ini sendiri terdapat lubang galian dengan emas hitam yang memiliki kedalaman sekitar empat meter. Mirisnya, hanya 100 meter dari galian tersebut. Terdapat lahan pertanian yang masih dalam tahap produksi.
“Hari ini kita meminta kepada aparat terkait untuk segera menghentikan tambang koridoran di tempat kami. Karena lahan yang ditambang ada di atas perbukitan, dan 80 persen warga sini mata usahanya adalah pertanian. Dengan adanya tambang ini kami terdampak,” ungkap seorang warga, sekaligus koordinator aksi penolakan tambang ini, Fathur Rahman.
Di lokasi penambangan, Fathur serta para warga didampingi Camat, Kapolsek dan Danramil Tenggarong serta Lurah Mangkurawang. Dalam aksi ini, ia dan warga menuntut penghentian aktivitas tambang yang diduga ilegal ini. Mengingat mayoritas warga yang menggantungkan mata pencaharian di pertanian. Serta luas sawah yang menyentuh 200 hektare. Fathur menyebut lahan produktif hanya mencapai 100 hektare, dan masih mengandalkan tadah hujan.
Dengan keberadaan tambang yang terletak di RT 15 ini. Area yang menjadi sumber air tersebut terancam merasakan dampaknya. Mulai dari sumur mengering, banjir akibat cuaca sampai perairan sawah terganggu. Dan ditegaskan Fathur. Pengembangan pertanian di tempatnya ini guna mendukung program Bupati Kukar, Edi Damansyah dalam mewujudkan lumbung pangan. Dan apabila tambang ini terus berlanjut. Maka lahan pertanian akan hancur, dan mewujudkan impian itu sangat tidak masuk akal.
“Makanya kami meminta pemerintah terkait setidaknya menghentikan aktivitas ini. Kami tidak ingin, yang dulu bisa jual beras, beberapa tahun kedepan malah beli beras,” tegasnya.
Usai aksi ini, lima RT yang tergabung dari RT 14,15,16,17 dan 18. Sepakat untuk melapor secara resmi, dengan pendampingan dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur (Kaltim) yang nantinya akan ditujukan terhadap Lurah Mangkurawang, Camat Tenggarong, Polsek Tenggarong, Koramil 0906-01/Tenggarong, Polres Kukar, Kodim 0906/Kukar, Ketua DPRD Kukar dan Bupati Kukar.
“Kami menolak segala bentuk tambang batu bara, tidak ada ruang untuk negosiasi. Karena kami ingin mencegah kerusakan lahan. Kami telah mengumpulkan dokumen yang disepakati ratusan warga dari lima RT, akan kami laporkan,” beber Fathur.
Seorang petani yang memiliki lahan di RT 16, Maryono. Turut menceritakan dampak lingkungan yang dirasakan dari aktivitas ini. Maryono sendiri memiliki lahan sawah seluas setengah hektare, yang berada tepat di bawah galian tambang. Sama seperti teman petani lainnya yang tergabung di poktan. Sawah mereka menjadi banjir hingga berlumpur. Sehingga membuatnya tidak bisa menanam padi.
“Sudah begini sekitar tiga bulan, sawah tidak bisa ditanami karena banjir berlumpur akibat hujan deras dan limbah yang turun ke lahan,” jelasnya. (moe)