SAMARINDA – Pihak-pihak dari luar disebut punya peran dalam kerusakan lingkungan yang terjadi di Kaltim. Yaitu perusahaan-perusahaan yang melakukan aktivitas penambangan batu bara di wilayah hutan Banua Etam. Regulasi yang tidak ketat dan konsisten turut menjadi penyebab usaha menjaga kelestarian hutan pasca tambang terkendala.
Pernyataan ini terungkap dalam diskusi antara DPRD Kaltim dengan tim tenaga profesional Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) RI, Rabu (26/4) lalu. Dalam diskusi ini, beberapa anggota DPRD Kaltim menyampaikan kondisi yang ada di Kaltim sebagai bahan masukan kajian pelestarian lingkungan bagi Lemhanas. Reklamasi daerah bekas tambang menjadi salah satu poin penting yang menjadi pokok diskusi.
“Masyarakat Kaltim ini sebenarnya cinta dengan lingkungan. Permasalahannya adalah adanya orang-orang luar yang merusak hutan melalui kegiatan penambangan yang dilakukan,” kata Dahri Yasin, anggota DPRD Kaltim dari Fraksi Golkar.
Menurutnya, reklamasi daerah bekas tambang yang menjadi tanggung jawab perusahaan tidak berjalan sebagai mestinya. Ini dikarenakan tidak ketatnya regulasi yang diterapkan pemerintah. Kata Dahri, kegiatan reklamasi tidak sebatas dengan pemberian dana jaminan reklamasi. Melainkan harus ada proses pendampingan untuk memastikan reklamasi benar-benar dilakukan.
“Kalau dilihat dari jalanan provinsi di Bukit Soeharto, terlihat hutan lindung yang masih begitu lebat. Tapi di belakangnya, sudah banyak yang berlubang. Reklamasinya tidak tepat sasaran dan sudah memakan korban,” tambahnya.
Menurutnya, pembenahan yang mulai dilakukan pemerintah daerah terhadap pertambangan tidak akan ada artinya ketika izin tetap diberikan dari pemerintah pusat. Sehingga penting adanya komunikasi antara pemerintah daerah dengan pusat dalam proses regulasi suatu izin.
Pernyataan Dahri diamini anggota Fraksi Golkar lainnya, Mursidi Muslim. Menurutnya, besaran dana jaminan reklamasi yang disetorkan perusahaan tidak seimbang dengan kondisi di lapangan. Hal ini menurutnya dikarenakan pengawasan dan penegakan hukum yang masih lemah terhadap perusahaan-perusahaan tambang.
“Apalagi sekarang kewenangan tambang pindah ke provinsi. Tolong untuk penegakan hukumnya ini yang lebih ditekankan,” kata Mursidi.
Sapto Setyo Pramono, anggota Fraksi Golkar lainnya juga setali tiga uang. Menurut dia, terjadinya kerusakan lingkungan dikarenakan regulasi yang tidak konsisten. Dalam hal ini, pemerintah pusat semestinya tidak hanya melihat kekayaan Kaltim saja. Melainkan mesti melihat langsung kondisi yang riil di lapangan. Sehingga peraturan yang dibuat pun bisa sesuai dengan kebutuhan yang ada di masyarakat.
“Misalnya dalam hal dana perimbangan, jangan hanya melihat dari balik meja. Coba dilihat sesuai dengan aspek-aspek dan luas wilayah yang ada di Kaltim. Karena uang sejuta di Kaltim itu tidak sama dengan sejuta di Jawa. Contohnya daerah Long Apari yang infrastrukturnya masih sangat terbatas, biaya hidup di sana jauh lebih mahal,” urai Sapto.
Menanggapi masalah dana perimbangan ini, Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kaltim Edy Kurniawan mengeaskan kembali regulasi yang berlaku saat ini. Yaitu Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Menurutnya hasil perkebunan Kaltim khususnya kepala sawit perlu mendapat porsi dana bagi hasil (DBH).
“Kami menuntut perubahan UU 33 Tahun 2004 tersebut. Perubahannya menyangkut DBH perkebunan yang masuk ke daerah,” jelas Edy.
Dasar tuntutan ini, sambungnya, yaitu biaya produksi dan transportasi hasil kebun yang relatif tinggi. Karenanya daerah perlu mendapatkan porsi dari hasil perkebunan ini. Dikhawatirkan tidak meratanya pembagian DBH ini, berpotensi menyebabkan terjadinya konflik sosial di masa mendatang.
“Sudah dua kali masa kejayaan Kaltim hilang begitu saja. Pertama hasil kayu, kedua hasil tambang. Nah, jangan sampai hasil kelapa sawit nantinya Kaltim tidak ikut merasakan,” tandasnya. (luk)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post