SANGATTA – Dari data Forum Orang Utan Indonesia (Forina) berdasarkan hasil Population Habitat and Viability Analysis (PAVA) menyatakan, terdapat 2.930 jumlah orang utan yang tersebar di Kaltim.
Khusus di Taman Nasional Kutai (TNK), berdasarkan inventarisasi balai TNK tahun 2017 ialah sebanyak 1.931 individu orang utan.
Hal ini terkuak dari hasil siaran pers Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem terkait kematian orang utan di Teluk Pandan, Kecamatan Teluk Pandan, Kutim.
Dikuak lebih mendalam, data Forina terbaru 2017 ini menyatakan, jika 279.359 hektar dari 3.447.230 hektar perkebunan sawit yang dikelola oleh 322 perusahaan sebelumnya merupakan habitat asli orang utan.
Artinya, sebanyak delapan persen habitat hewan dilindungi tersebut Dirampas oleh perusahaan atau perkebunan sawit.
“Datanya seperti itu yang kami dapat,” ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Encek Achmad Rafiddin Rizal.
Melihat data di atas, tentu saja keberadaan orang utan kian terancam atas pembukaan lahan yang kian frontal. Habitatnya mulai tergusur.
Satu satunya wadah aman ialah TNK. Namun faktanya, TNK ikut terjarah. Tak sedikit orang utan mati di kawasan TNK. Mulai ditembak, dijerat, dan terbakar.
“Jika melihat data, orang utan di Kaltim khususnya di Kutim masih terbilang banyak. Untuk itu, perlu perhatian khusus dalam menanganinya. Jangan sampai terulang kembali kasus pembunuhan orang utan,” kata Rizal.
Untuk mengantisipasi keburukan yang terjadi, semua pihak kompak membentuk tim pencegahan pembunuhan orang utan.
Diantara upayanya ialah melakukan patroli, menggelar sosialisasi penghalauan serta perlindungan dan penyelamatan orang utan.
“Jika ditemukan potensi mengancam hewan yang dilindungi termasuk orang utan maka segera laporkan,” pinta Rizal.
Rizal meminta semua jenis pelanggaran yang dilakukan mendapatkan sanksi yang berat. Hal ini untuk menekan jumlah pelanggaran akan datang.
Jelas dalam aturan bagi mereka yang melanggar diancam hukuman yang cukup berat. Sebab aturan sudah menegaskan secara gamblang larangan tersebut.
Seperti pada pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi SDA hayati dan ekosistem,
Kemudian pasal 4 ayat 2 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dan pasal 21 ayat 2.
Dijelaskan, setiap orang dilarang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi.
“Sanksi pidana bagi orang yang sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) adalah pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00,” tegasnya. (dy)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: