JAKARTA-Penetapan hakim Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan Kayat sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan mata rantai korupsi di dunia peradilan masih kuat. Mahkamah Agung (MA) dituntut bekerja lebih ekstra untuk memutus rantai tersebut.
“Sejak era kepemimpinan Hatta Ali (ketua MA), sudah ada 20 hakim terlibat praktik korupsi,” kata Kurnia Ramadhana, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), kemarin (5/5).
Tahun lalu, ada empat hakim yang ditetapkan tersangka KPK. Yakni, hakim ad hoc PN Medan Merry Purba, hakim PN Tangerang Wahyu Widya Nurfitri, hakim PN Semarang Lasito, serta dua hakim PN Jakarta Selatan; Iswahyu Widodo dan Irwan.
Kurnia mengatakan, berulangnya penangkapan hakim oleh KPK menunjukkan adanya persoalan serius di sistem pengawasan MA yang diatur dalam Peraturan MA (Perma) Nomor 8/2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan MA dan Badan Peradilan di Bawahnya.
“Penting untuk merumuskan ulang grand design pengawasan. Bahkan jika diperlukan dapat melibatkan KPK sebagai pihak eksternal,” kata Kurnia. Sebelumnya, ICW pernah memetakan pola korupsi di peradilan. Yakni, saat pendaftaran perkara, penentuan majelis hakim, hingga pengambilan putusan.
Sejauh ini, tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja pengadilan memang belum memuaskan. Merujuk kajian Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2018, sektor pengadilan berada di tiga besar lembaga rawan korupsi. “Atas kejadian ini, ICW menuntut Hatta Ali mengundurkan diri,” tegas Kurnia.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro menyatakan, pihaknya bukan tidak serius melakukan pembinaan dan pengawasan hakim. Sepanjang 2017-2018, kata dia, MA telah mencanangkan tahun pembersihan oknum aparat peradilan yang melakukan perbuatan tercela. “MA tidak main-main melakukan pembersihan dengan melibatkan KPK. Itu dilakukan untuk menangkap dan menindak oknum yang melakukan suap dan jual beli perkara,” terang Andi.
MA bersikap tegas terhadap hakim yang ditangkap KPK karena kedapatan menerima suap Rp 100 juta dari pihak berperkara itu. Sanksinya, Kayat akan diberhentikan sementara sebagai hakim. “Kami akan usulkan ke ketua MA sambil perkaranya berjalan,” ucap Andi.
Andi mengatakan, sikap tegas itu diambil menyusul adanya pengumuman resmi dari KPK bahwa Kayat termasuk satu di antara tiga tersangka kasus suap, yang diungkap KPK lewat OTT di PN Balikpapan pada Jumat (3/5). Ini juga merupakan tanggapan bahwa MA takkan memberi ampun terhadap pegawai yang menyimpang. “Bagi yang tidak bisa dibina terpaksa akan ‘dibinasakan’. Agar virusnya tidak menyebar ke yang lain,” tegas Andi.
Sebagai pimpinan tertinggi hakim di Indonesia, lanjut Andi, Ketua MA Hatta Ali dalam berbagai kesempatan selalu mengatakan tidak akan memberi toleransi kepada pegawai yang terbukti telah melanggar aturan. Untuk meningkatkan pembinaan dan pengawasan pegawai, pihaknya telah menerbitkan peraturan dan maklumat.
Meski citranya kembali tercoreng dengan ditangkapnya Kayat oleh KPK, pihaknya optimistis, kejadian tersebut tidak akan menyurutkan langkah MA untuk berbenah diri. “Kami optimistis meski dinodai perilaku segelintir aparatur peradilan yang merendahkan wibawa dan martabat peradilan. Tapi tidak akan menyurutkan kerja keras kami untuk berbenah,” tambahnya.
Soal adanya kerja sama pencegahan korupsi antara KPK-MA dibenarkan Wakil Ketua KPK Laode Syarif saat jumpa pers OTT hakim Kayat pada Jumat lalu. Dikatakan, sudah setahun ini, pihaknya serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dilibatkan dalam perbaikan administrasi dan tata kelola bidang peradilan. Namun, dalam pelaksanaannya, tak semua hakim mau menaati apa yang telah digariskan.
Buktinya, di dalam mobil Kayat terdapat uang Rp 100 juta yang diduga merupakan uang suap dari hasil menjatuhkan putusan lepas kepada Sudarman, yang merupakan terdakwa kasus pemalsuan dokumen pertanahan. Adanya pertemuan antara pengacara Sudarman (Jhonson Siburian) dan Kayat di luar persidangan, menurut Laode, dari sisi kode etik jelas merupakan pelanggaran berat.
Apalagi kemudian didapati uang Rp 100 juta dan Rp 28,5 juta tersimpan di tas milik Kayat yang diduga kuat merupakan uang haram. Laode menambahkan, penyidik masih menggali informasi apakah uang Rp 28,5 juta tersebut merupakan bagian dari komitmen Rp 500 juta yang akan diberikan Sudarman.
Sebab, uang yang diserahkan Sudarman ke Jhonson seharusnya Rp 200 juta. Namun saat penyerahan suap dilakukan di lapangan parkir PN Balikpapan bersama Rosa Isabela (asisten Jhonson), uang yang disimpan dalam mobil Kayat hanya Rp 100 juta.
Sementara Rp 100 juta lainnya disita penyidik saat menggeledah kantor Jhonson di kawasan Jalan Syarifudin Yoes, Balikpapan. Itu pun berkurang jadi Rp 99 juta, karena Rp 1 juta dipakai Jhonson untuk membayar makan di restoran bersama Sudarman dan Rosa, beberapa jam sebelum aksi suap itu dibongkar KPK.
Di sisi lain, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, para tersangka dalam dugaan suap hakim PN Balikpapan telah ditahan untuk 20 tahun ke depan. Penahanan dilakukan setelah KPK menetapkan tiga tersangka. Yakni, Kayat, Sudarman, dan Jhonson Siburian.
SANKSI BERLIPAT
Pengamat hukum Herdiansyah Hamzah menilai, ada dua poin penting dalam membaca OTT hakim PN Balikpapan oleh KPK akhir pekan lalu itu. Pertama, ini semacam pusaran badai yang menyapu sistem peradilan. “Hakim adalah benteng terakhir yang berada di hulu penegakan hukum. Kalau hakimnya kotor, bagaimana mungkin bicara soal keadilan,” ujarnya.
Dia tidak menampik, ini merupakan kesalahan seorang oknum. Kendati demikian, cukup mencoreng dan meruntuhkan martabat hakim. Sehingga, hukuman yang mesti dijatuhkan kepada hakim yang melakukan perbuatan tercela itu mesti dua kali lipat lebih berat. “Sehingga memberikan pembelajaran bagi pengadil yang lain,” imbuh dia.
Kemudian yang kedua, lanjut dia, kasus tersebut mengonfirmasi bahwa kasus-kasus atau perkara tanah telah menjadi ladang bisnis bagi mafia peradilan. “Ada praktik jual-beli perkara dalam kasus tanah yang masuk ke proses peradilan. Pengungkapan kasus ini, bisa jadi pintu masuk membongkar kasus-kasus lain yang serupa,” jelas dosen Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Samarinda, itu.
Bukan hanya membongkar mafia peradilan, tetapi juga mafia tanah yang selama ini banyak dipergunjingkan masyarakat.
Untuk perbaikan yang mesti dilakukan agar ekspektasi publik terhadap lembaga peradilan membaik, perlu dimulai dari upaya bersih-bersih di lingkungan peradilan sendiri. “Upaya itu harus dilakukan dari hulu ke hilir. Misalnya, dimulai sistem rekrutmen, interaksi sosial hakim, kode etik, sistem kontrol dan pengawasan, hingga punishment. Harus dikuatkan,” pungkasnya.
Diwartakan sebelumnya, kerja sama KPK dan MA di bidang pencegahan korupsi belum ampuh menekan perilaku culas aparatur peradilan. Itu setelah KPK menetapkan hakim PN Balikpapan Kayat sebagai tersangka suap terkait jual-beli putusan perkara yang diadili. Sebelumnya, Kayat tertangkap basah menerima Rp 100 juta saat operasi tangkap tangan (OTT) KPK, Jumat (3/5).
Selain Kayat, KPK menetapkan tersangka kepada Jhonson Siburian dan Sudarman. Kayat dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau c atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sementara Sudarman dan Jhonson disangka melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (pra/*/dq/rom/k16/kpg)