Kisah Inspiratif Warga Bontang: Paijo Sasikirono (113)
Bermodal ijazah sekolah menengah, lelaki yang kini paruh baya ini merantau dari Sragen ke Bontang membawa serta keluarganya, 1980an silam. Meski sempat bekerja harian di suatu perusahaan, dirinya kemudian nekat untuk berdagang bakso solo, tanpa keterampilan dan modal besar.
Muhammad Zulfikar Akbar, Bontang
PAIJO Sasikirono mendatangi tetangganya yang mendahuluinya berdagang bakso. Berniat ingin belajar bagaimana membuat makanan khas Solo yang enak di lidah. Namun, karena kepentingan usaha, hanya sedikit ilmu yang dapat diperolehnya. Paijo pun nekat memulai usaha baksonya pada 1985. “Waktu itu jualannya masih dorong pakai rombong, keliling sekitar Loktuan,” kata Paijo.
Dirinya pun menggiling atau membuat adonan baksonya secara mandiri dengan ditumbuk-tumbuk hingga berbentuk adonan bakso. Untuk memulai usaha ini, Paijo mengeluarkan modal sekitar Rp 25 ribu yang berasal dari upah saat dirinya bekerja harian di perusahaan. Panas dan debu, hingga basah karena hujan pernah dirasakannya selama berdagang dengan rombongnya.
Tak hanya karena cuaca saja. Loktuan yang kala itu kehidupannya “keras”, pemuda-pemudanya yang sebagian sering melakukan hal negatif sempat membuat takut dirinya saat berdagang. Terlebih, dia mendengar kejadian ada pedagang bakso yang sempat menjadi korban aksi negatif sekelompok pemuda kala itu. Ternyata, kekhawatiran Paijo terlalu berlebihan. Hingga kini, dirinya tak pernah merasa dikerjai oleh mereka. “Paling-paling saat mereka mabuk, minta air mineral saja. Ya saya kasih, he he,” ujarnya sambil terkekeh.
Tak lama Paijo berdagang dengan rombongnya. Bersama dengan istrinya, Jamilatun selalu menemani suaminya berdagang saat mereka memutuskan menyewa tempat di dekat Pasar Senggol waktu itu. Letaknya yang berdekatan dengan bioskop masa itu membuat dagangannya cepat dikenal. Namun, karena masyarakat sekitar Loktuan kebanyakan berasal dari Bugis, mereka pun belum begitu mengenal bakso yang dijajakan Paijo. “Jadi mereka hanya lihat saja, tidak beli baksonya,” kenang pria berumur 64 tahun ini.
Sembari berdagang di Loktuan, Paijo ternyata menemukan peluang berdagang baru di perumahan BTN-PKT. Komplek perumahan karyawan yang baru dibuka sekitar 1993 itu memang masih minim penghuni. Namun, penghuninya yang rata-rata masih berstatus bujangan inilah yang coba dimasuki olehnya. Paijo pun menyewa tempat di tahap 1 BTN-PKT sekitar Jalan M. Effendi. “Yang jualan istri, saya tetap jualan di Loktuan,” katanya.
Setiap pagi, Jamilatun pergi berdagang ke BTN-PKT dengan menumpang bus karyawan Pupuk Kaltim yang akan menjemput karyawan di perumahan tersebut. Pun saat akan pulang ke Loktuan, dirinya kembali menumpang bus yang sama dan mengantarkannya kembali pulang. “Karena di sana waktu itu banyak yang bujang, jadi dagangannya cepat habis,” ucap Paijo.
Usahanya yang mulai berjalan mulus dan lancar, akhirnya mampu membawa Paijo beserta istri untuk menunaikan ibadah ke tanah suci pada 1997. Paijo tak pernah menyangka, dari hasil dagangan baksonya, kini ia dapat melaksanakan ibadah haji dan membiayai segala keperluan keluarga dan usahanya. “Kami juga bisa beli tanah di Jawa,” jelas ayah dari empat anak ini.
Rasa pantang menyerah dan ketekunan dalam menjalankan usaha mengantarkan usaha baksonya hingga kini masih bertahan dan tak pernah sepi pembeli. Bahkan, Paijo merupakan satu diantara segelintir orang-orang tua di Loktuan yang usahanya hingga kini masih bertahan. “Yang penting itu jangan putus asa, jangan menyerah, apalagi soal menghidupi keluarga. Harus berjuang,” tegas kakek delapan cucu ini.
Di usianya saat ini, Paijo tak berharap banyak. Usahanya yang dirintisnya sejak 1985 silam sudah cukup membuatnya puas. Meski kini belum ada diantara keempat anaknya yang mau menjalankan usahanya, namun Paijo berharap dari usahanya ini bisa bermanfaat untuk keluarga dan orang lain di sekitarnya. “Saya buat usaha ini niatnya juga untuk ibadah,” pungkas lelaki yang sudah beruban ini. (bersambung)