Tak pernah terpikir dalam benaknya jika dia akan menjadi guru. Sempat memilih pendidikan tinggi di Teknik Kimia, namun pada akhirnya dia nyaman menjadi pengajar.
Muhammad Zulfikar Akbar, Bontang
JAMALUDDIN Rosyidi memang terlahir dari keluarga yang mayoritas menjadi pengajar. Ayahnya, Masyadi merupakan guru. Ibunya, Wasi’ah meski sebagai ibu rumah tangga, namun sering mengajar pula sebagai guru mengaji. Pun dengan kedua kakaknya yang lain, ada yang menjadi guru sekolah, bahkan ada pula yang menjadi dosen. Dalam kondisi seperti itu, Jamal –sapaan akrabnya—saat muda ingin mencoba hal yang berbeda dengan mengambil jurusan Teknik Kimia di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta. “Tapi orang tua saya waktu itu minta saya menjadi guru,” kata pria kelahiran Gresik, 11 Juni 1982 silam.
Saat menjalani kehidupan sebagai mahasiswa, desakan ekonomi sempat menjadi halangan Jamal. Akhirnya, dirinya pun membuka kelas les privat mengajar kepada siswa yang ada di lingkungan sekitarnya. Tanpa terasa, Jamal pun merasakan kenyamanan saat mengajar les privat tersebut. Bahkan saat dirinya melakukan kerja praktik di perusahaan, Jamal justru tak nyaman. “Lebih nyaman untuk ngajar daripada kerja di laboratorium,” ujarnya.
Sejak itulah, Jamal pun bertekad seusai lulus dari pendidikan tingginya, dia akan melanjutkan pekerjaannya sebagai pengajar. Dirinya pun meyakini, jika jalan yang diambilnya berkat doa dari kedua orang tuanya. “Sepertinya ‘kutukan’ itu benar-benar terjadi pada saya, he he,” candanya.
Pada 2005, kesempatan untuk merantau ke Bontang didapatkan Jamal. Dia pun menerima tawaran untuk mengembangkan Lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel) ME yang baru berdiri. Sejak itulah, Jamal mulai berkecimpung di dunia pendidikan di Kota Taman. Kedatangannya ke Bontang membuatnya mengkritisi beberapa hal yang ada pada diri siswa Bontang.
Menurut Jamal, siswa Bontang punya tiga hal yang berbeda dengan siswa di luar Bontang, utamanya yang berasal dari Jawa. Pertama, siswa Bontang masih lemah dalam hal jiwa berjuang. Katanya, saat mereka diberikan soal yang levelnya lebih susah, kebanyakan siswa Bontang langsung menyerah. “Berbeda dengan siswa dari Jawa, mereka justru menganggapnya sebagai tantangan,” jelas Jamal.
Kedua, yakni tidak punya visi. Menurutnya, rata-rata siswa Bontang masih belum tahu masa depan yang ingin dicapai oleh mereka. Hal itu disebabkan terbatasnya informasi tentang beragam profesi yang berpeluang di masa depan, yang diterima oleh para siswa. Sebaliknya, siswa di Jawa justru sejak kelas 1 dan 2 SMA sudah diarahkan untuk menjadi yang ingin dicita-citakannya. “Susahnya, Bontang hanya terpatok pada industri. Padahal, masih banyak profesi lain yang peluangnya tak kalah lebar,” katanya.
Ketiga, yaitu aspek kejujuran. Aspek inilah yang paling disorot oleh Jamal. Sebab, dalam beberapa kasus, ada guru yang “melegalkan” menyontek, asalkan tidak ketahuan. “Ini yang paling berbahaya. Dan ketiga persoalan ini hingga kini masih ada,” ujar suami dari asa Paramesti ini.
Untuk itu, Jamal pun menawarkan beberapa solusi. Diantaranya menghimbau pihak sekolah, pemerintah, maupun perusahaan untuk mengadakan kuliah tamu yang menghadirkan beragam profesi berbeda kepada siswa. Selain itu, guru pun harus menjadi suri tauladan yang baik agar mampu dicontoh oleh siswanya. “Karena saya punya pengalaman. Saat saya diminta tolong menggantikan menjadi guru selama 3 bulan di salah satu sekolah, saya menjadi guru yang paling rajin. Padahal saya hanya datang tepat waktu, dan pulang sesuai waktunya. Namun kata para siswa terlalu rajin. Ini berarti kebiasaan tidak baik itu sudah membudaya,” jelasnya.
Itu pula yang Jamal terapkan saat mengajar di lembaga Bimbel ME. Selain mengajarkan materi sekolah, nilai-nilai kebaikan pun sering ditanamkan olehnya dan pengajar lain dalam kelas. Seperti prinsip kejujuran, bekerja keras, dan lain-lain. “Untuk yang agama Islam misalnya, saat waktunya salat, ya ke masjid dulu. Ini salah satu wujud dakwah kami, dan kami harap menular kepada mereka,” katanya.
Selain mengajar di bimbel, dirinya pun turut membantu mengajar di sekolah khusus anak tidak mampu di daerah Kersik, Marangkayu, Kutai Kartanegara. Sekolah jenjang SMP bernama Mus’ab Bin Umair ini pun kini menampung sekitar 70 siswa. Segala biaya sekolah, makan, dan sebagainya pun sepenuhnya gratis. “Tahun ini Insyaallah bertambah jadi 90 siswa. Tahun depan insyaallah kami akan bangun SMK Islam. Kami memang tak bisa menjamin mereka bisa lanjut ke pendidikan tinggi. Tapi dengan sekolah di SMK, mereka mendapatkan kemampuan yang dibutuhkan di dunia kerja,” ujar Jamal.
Dirinya pun mempunyai ambisi lain, yakni membangun portal video belajar yang bebas diakses oleh seluruh pelajar Bontang. Dengan begitu, pelajar Bontang pun bisa belajar dengan cara yang lebih menyenangkan. Syaratnya, hanya membutuhkan akses internet saja. “Kami bahkan sempat audiensi dengan wali kota. Namun sampai sekarang tidak ada respon lagi. Akhirnya kami saat ini mencicil memproduksinya,” pungkas Jamal. (bersambung)
Tentang Jamal
Nama: Jamaluddin Rosyidi
TTL: Gresik, 11 Juni 1982
Alamat: Mulawarman Residence, C5
Nama Orang Tua: Marsyadi –Wasi’ah
Istri: Asa Paramesti
Pendidikan Terakhir: Teknik Kimia UGM
Pekerjaan: CEO Bimbel ME
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post