SAMARINDA – Sejauh ini belum ada satu pun lembaga survei yang mendapat akreditasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kaltim. Padahal setiap lembaga survei yang ingin merilis elektabilitas atau tingkat keterpilihan setiap pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kaltim 2018 harus terlebih dulu terdaftar dan terakreditasi oleh KPU.
Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 tahun 2017 tentang Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Komisioner KPU Kaltim, Mohammad Syamsul Hadi menyebut, PKPU tersebut telah mengatur secara detail syarat serta proses publikasi lembaga survei yang sah dan kredibel. Kata dia, terdapat empat syarat lembaga survei.
Antara lain memiliki profil organisasi yang berbadan hokum dan mempublikasi wilayah yang dijadikan basis survei. Pendanaan lembaga survei juga harus independen atau bukan dari paslon yang bertarung dalam pilgub serta lembaga survei harus mendaftarkan diri ke KPU.
“Sejauh ini belum ada lembaga survei yang terakreditasi. Yang baru masuk hanya Indo Barometer. Itu pun sedang kami proses, mau kami teliti dulu, belum disertifikasi,” ungkap Syamsul, Selasa (10/4) kemarin.
Menurutnya, selama Pilgub Kaltim sudah banyak lembaga survei yang mencoba meneliti elektabilitas paslon. Namun apabila lembaga survei tersebut belum terdaftar di KPU, maka dapat disimpulkan belum teregistrasi.
“Sebelum terdaftar dan terakreditasi oleh KPU, belum boleh merilis pada publik hasil surveinya. Kalau untuk kepentingan sendiri, silakan boleh saja. Artinya tidak boleh dipublikasi,” tegasnya.
Sementara itu Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kaltim, Saipul Bahtiar menyebut, setiap lembaga survei yang ingin merilis tingkat keterpilihan paslon di pilgub harus memiliki landasan dan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Selain itu, Saipul menegaskan, lembaga survei juga harus terbuka pada publik, terutama metodologi survei, pengambilan sampel, hingga penyimpulan data yang telah diambil pada narasumber.
“Jadi lembaga survei itu bukan dibentuk untuk menggiring opini publik, tetapi harus terbuka. Kalau menggunakan sampling, dibuka saja, siapa yang menjadi sampel penelitian itu. Terus sebaran sampel itu, bisa tidak dipertanggungjawabkan? Kalau tidak sesuai dengan syarat itu, maka lembaga survei itu tidak dapat dipercaya,” urainya panjang lebar.
Saipul mengatakan, hasil survei harus mampu mewakili sebaran populasi yang dijadikan sampel. Bila menggunakan metode acak atau random sampling, maka harus membuka riwayat usia, jenis kelamin, dan sebaran sampel.
“Kalau itu tidak transparan, populasinya di mana, kemudian sampelnya siapa saja, maka itu juga menjadi dipertanyakan keabsahannya. Jadi survei itu tidak boleh bersifat subjektif. Metodologi lembaga survei juga harus ilmiah,” tegas Saipul. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: