Catatan : M. Saipul (Penulis Buku Anthologi Kaltim dalam Cerpen Indonesia)
Tahun 2024 menjadi tonggak sejarah baru peradaban dan perubahan bagi Kota Bontang. Pada tahun 2024, tepatnya pada tanggal 14 Februari 2024 nanti rakyat Kota Bontang kembali mengadu nasib untuk lima tahun ke depan melalui Pemilihan Legislatif Kota Bontang. Masyarakat Kota Bontang kembali akan disuguhkan dengan janji politik oleh calon-calon legislatif, yang bertarung untuk memperebutkan kursi di DPRD Kota Bontang sebanyak 9 kursi di Dapil Bontang Selatan, 4 Kursi di Dapil Bontang Barat dan 12 kursi di Dapil Bontang Utara.
Mulai dari mensejahterahkan PNS (Pegawai Negeri Sipil), memperjuangkan nasib honorer. Janji untuk memberantas kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), penyakit yang mengakar dan menular di Indonesia selain kasus flu burung, AIDS, narkoba, serta Covid-19 yang dapat mematikan roda perekonomian negara.
Tak heran jika nantinya janji-janji tersebut menjadi penghibur di antara lilitan kemiskinan dan teriakan rakyat yang kelaparan, di antara membuncitnya perut anak-anak yang kekurangan gizi, apa bedanya dengan perut-perut buncit sang koruptor yang memakan uang rakyat? Di antara hilangnya rasa aman rakyat, di antara hilangnya kebebasan mahasiswa yang di kebiri dan keamanan menjalankan aktivitas ibadah, di antara teror-teror, di antara kecaman-kecaman yang mengatasnamakan masyarakat, di antara keadilan yang sudah sekian lama tercabut, dan di antara harapan kesejahteraan yang entah sampai kapan akan terwujud.
Karena itu, tidak ayal sejumlah dukungan untuk para calon legislatif itu pun nantinya mulai merebak. Sebagai contoh kecil saja, polling pemilihan serta poto-poto yang tersebar di pinggir jalan dan berbagai media massa, banyak memperoleh animo dan respons beragam dari sejumlah lapisan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan pemilihan-pemilihan sebelumnya di berbagai daerah. Dari fatwa yang menyudutkan calon yang satu karena mendukung calon yang lain, hingga sumpah-sumpah pun dilakukan di bawah kitab-kitab suci sebagai bukti setia tetap mendukung salah satu calonnya.
Ini menunjukkan, kemerdekaan negeri kita ini yang sudah sekian tahun lamanya belum mampu membangun kedewasaan seluruh lapisan anak negeri ini. Terbukti, semua hal masih disikapi dengan penuh emosional dan menempatkan kejernihan berpikir di tempat yang sulit ditemukan.
Namun, demikianlah budaya negeri kita. Setiap kepentingan, termasuk keinginan untuk menjadi pemimpin, diupayakan terwujud. Tidak peduli bagaimana caranya. Sekalipun harus melanggar syariat dan “menjual harga diri”. Sahabat bahkan keluarga, bila perlu dikorbankan untuk kepentingan tersebut.
Karena semua itu, jadilah kursi pemimpin menjadi kursi yang paling mahal di negeri ini. Bagaimana tidak, untuk mendudukinya saja, seorang calon pemimpin terkadang tak segan “menjual harga diri”, mengorbankan sahabat, dan bahkan mengorbankan nyawa rakyat yang seharusnya mendapatkan pelayanan dari seorang pemimpin.
Padahal, jika seorang pemimpin mau berpihak pada nurani, tentu tidak harus seperti itu kejadiannya. Bagaimanapun kursi hanyalah kursi. Benda biasa yang paling banter terbuat dari emas, bisa dinilai dengan uang, bisa rusak, dan tidak lebih tinggi dari harga nyawa manusia.
Walaupun setiap malam melakukan tirakat melafazkan ayat kursi untuk menduduki kursi kepemimpinan, ketika berhasil mendapatkan keinginannya, maka seketika lupa. Ironis sekali, yang tinggal hanyalah harapan-harapan yang sulit terwujud dan tercapai.
Karena itu, sejatinya, kursi diposisikan tetap sebagai kursi. Tidak lain. Sesungguhnya untuk duduk di atas kursi kepemimpinan, tidak perlu ada janji-janji politik palsu, tidak perlu ada fatwa yang menyudutkan, tidak perlu sumpah-sumpah di bawah kitab-kitab suci, tidak perlu ada sahabat yang harus dikorbankan, tidak perlu ada mahasiswa yang dikebiri ketika menyerukan kedamaian dan keadilan, tidak perlu ada teror sana-sini, tidak perlu ada pembakaran di mana-mana, apalagi harus menghilangkan nyawa manusia.
Masih adakah pemimpin yang seperti itu? masih adakah pemimpin yang mementingkan hati nurani dari pada kursi? Jawabnya ada pada diri pemimpin itu masing-masing apakah dia mau mempertaruhkan hati nurani atau harga dirinya demi kursi kepemimpinan tersebut. (*)
Catatan Redaksi: Tulisan ini tidak mengambarkan pandangan redaksi. Segala isinya merupakan tanggung jawab penulis
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post