Sejatinya semua ini dimulai dari sebuah aktivitas sederhana: berbagai bacaan bersama orang-orang terdekat. Mulanya aktivitas itu hanya dilakukan Yusworo Yestu bersama kedua sahabatnya. Namun tak disangka, aktivitas itu justru meluas. Ia laiknya jaringan, menghubungkan satu orang ke yang lainnya. Inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya sebuah komunitas pecinta buku di Bontang. Yang kemudian beken dengan nama Lapak Baca Bontang.
—
bontangpost.id – Yusworo Yestu dan sahabatnya, Syarif Rifky, bukanlah penggandung buku-buku babon atau buku filsafat yang dari sampulnya saja sudah bikin orang malas memegang, apalagi menafsir isinya. Mereka justru lebih sering membaca novel sederhana yang menceritakan soal keseharian. Yang biasa dihasilkan penulis populer macam Andrea Hirata, Tere Liye, Dee Lestari, hingga Boy Candra.
Biasanya, ketika satu buku rampung dibaca, salah satu mereka bakal saling pinjam. Dari situ, selain bacaan mereka main luas dan bervariasi, juga lebih hemat kantong. Sebab mereka tak perlu membeli buku lantaran bisa pinjam dari teman sendiri.
Satu waktu pada 2017, Yestu dan Syarif tak sengaja bertemu seorang perempuan di salah satu coffee shop di bilangan Jalan Bhayangkara. Perempuan itu duduk sendiri di pojok, sembari memegang buku bacaan. Tidak sekali dua kali Yestu melihat perempuan itu, yang belakangan diketahui bernama Nuranissa Assis alias Rani.
“Sering lihat di kedai gitu. Lihat Mbak Rani sering bawa bacaan. Dari sana, enggak lama ngobrol-ngobrol soal buku dan bacaan, dan ternyata nyambung,” kata Yestu.
Itulah mulanya Yestu dan Syarif mengenal Rani. Setelahnya mereka mudah saja akrab, lantaran disatukan oleh kegemaran yang sama, membaca.
Aktivitas berbagi bacaan di antara mereka terus berlanjut. Dengan kehadiran Rani, tentu bacaan mereka semakin luas. Kemudian pertengahan 2018, mulai terbesit pikiran untuk membagi bahan bacaan kepada publik. Bukan cuma di antara mereka bertiga. Mereka pikir, ketimbang buku-buku itu, yang jumlahnya sekitar 120 eksemplar, hanya tersimpan rapi di rak, lebih baik ia disebarluaskan. Agar ia memberi manfaat kepada lebih banyak orang. Juga, agar publik bisa mengakses berbagai bahan bacaan.
“Lama-lama mulai kepikir, kenapa enggak sedikan bahan bacaan buat masyarakat Bontang,” kata pria yang juga aktif di dunia seni dan teater ini.
Ketika berpikir untuk membagi bacaan secara lebih luas, mereka belum tahu ingin menyebut diri sebagai apa. Sembari memikirkan nama, tiba-tiba keluar celetukan ‘ngelapak’. Itu selaras dari konsep yang mereka usung. Menyambangi ruang publik, menghapar bacaan, dan membiarkan pengunjung melihat, membaca, pinjam, dan membicarakan apapun soal buku.
“Dari pada bingung, kami mikir, ya uda lah ngelapak saja. Dan nama itu terus dipakai sampai hari ini,” ujar pria penggemar kopi ini.
Lapak Baca Bontang perdana tampil di hadapan publik akhir 2018. Di awal kehadirannya, mereka hanya menggelar lapak dari satu kedai ke kedai kopi lain. Mengambil ruang di sudut kedai, sembari menghampar bacaan. Membiarkan pengunjung datang, melihat, membaca atau meminjam buku. Pun tak ada jadwal rutin buat ngelapak. Mengingat kata itu, personel mereka terbatas, tiga orang. Sementara ketiganya pun disibukkan dengan pekerjaan masing-masing.

Memasuki 2019 mereka mulai serius menggarap Lapak Baca Bontang. Membuka ruang bagi relawan buat bergabung. Struktural komunitas ini dibentuk. Harapannya, ia tak sekadar medium buat menyediakan bahan bacaan. Lebih luas lagi, komunitas ini bisa jadi ruang buat bertukar gagasan. Juga medium bagi kegiatan terkait literasi, seni, dan budaya dilakukan.
“Beberapa program sudah disusun. Awal 2020 kami sempat mau bedah buku, tapi terkendala pembatasan kegiatan yang diberlakukan pemerintah,” ungkap Yestu.
Tak patah aral, mereka tentu harus beradaptasi dengan kondisi. Kegiatan tatap muka langsung dibatasi, mereka justru gencar di media sosial. Melalui akun instagram @lapakbacabontang, beberapa kali mereka lakukan bincang buku virtual. Juga memberikan konten-konten terkait buku. Agar semakin banyak orang yang mulanya melirik, lantas jadi tertarik membaca buku.
Bertambahnya anggota, praktis membuat koleksi Lapak Baca bertambah. Dengan semakin terdengarnya gaung mereka, banyak juga masyarakat yang mendonasikan buku-buku. Kata Yestu, Lapak Baca menerima seluruh genre bacaan. Tidak dibatasi. Namun untuk saat ini, pihaknya cukup berharap mendapat bantuan buku-buku anak. Sebab ketika mereka mulai masuk ke ruang publik, rupanya antusiasme anak-anak lah yang sangat besar. Ini kemudian membuat mereka menyangsikan, tingkat literasi Indonesia sejatinya tak seburuk yang dikira. Boleh jadi, publik hanya tak punya akses untuk mendapat bahan bacaan.
“Makanya kami agak mempertanyakan juga. Siapa tahu bukan karena tidak mau membaca, tapi karena bahan bacaanya tidak ada,” ungkapnya.
Lebih jauh, melalui Lapak Baca, para penggemar buku di Bontang bisa saling bertukar atau mendiskusikan bahan bacaan. Publik bisa pinjam koleksi Lapak Baca. Atau biasanya, meminjam juga dari sesama mereka yang terhubung ke Lapak Baca. Atau bahkan menghibahkan bukunya. Jaringan-jaringan inilah yang menjadi nafas Lapak Baca Bontang. Komunitas literasi yang digawangi anak muda Kota Taman. Dengan semangat sukarela, dan bercita-cita terus menyebarkan semangat literasi. Kendati berbasis di Bontang, mereka berharap semangat ini tak terbatas ruang.
“Sederhana cita-cita kami. Pertama, lebih dikenal. Kedua, kami bisa terus menyediakan akses bacaan buat publik,” tandasnya. (*)