bontangpost.id – Belasan pemuda yang tergabung dalam Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Administratif (Kotif) Bontang ini tengah risau. Memikirkan strategi agar Bontang bisa otonom, dan melepaskan diri dari bagian Kabupaten Kutai (sekarang Kutai Kartanegara). Gelas-gelas kopi yang sedari tadi menemani mereka tandas, hanya menyisakan ampas kopi di dasar gelas.
“Jadi kami sering kongko di Bontang Kuala (BK). Di sana kami rumuskan ide-ide bahwa Bontang memang harus mandiri,” kata mantan Ketua KNPI Kotip Bontang Abd Muis kala bebicang dengan bontangpost.id, Senin (11/10/2021) sore.
Dia mengisahkan, keinginan agar Bontang lepas dari Kabupaten Kutai sudah ada sejak lama. Keinginan ini hadir lantaran kondisi Bontang kala itu memprihatinkan. Ada dua perusahaan raksasa berdiri, PT Badak LNG tahun 1974 dan PT Pupuk Kalimantan Timur pada 1977, namun pembangunan di Bontang yang kala itu masih kecamatan, sangat tertinggal. Sesederhana jalan kampung saja, masih tanah. Praktis ketika warga melintas, asap kekuningan mengepul. Kesejahteraan pun setali tiga uang, sama saja, timpang. Selain itu, Bontang tak bisa mengakomodir kebutuhan dua perusahaan itu bila masih kecamatan.
“Kita ini (Bontang) diapit dua perusahaan (Badak dan Pupuk Kaltim) tapi sangat tertinggal. Kesejahteraan juga sangat kurang,” ucapnya.
Maka mulai 1987 Bridage KNPI Kecamatan Bontang menperjuangkan agar kota yang berjuluk Taman ini lepas dari Kabupaten Kutai. Sekitar 3 tahun mereka berjuang, hingga akhirnya pada 1991 status Bontang berubah dari Kecamatan Bontang menjadi Kota Administratif (Kotif) Bontang.
Setelah naik status, DPD II KNPI Kotif Bontang lantas melakukan deklarasi. Untuk deklarasi ini, mereka mendatangkan Ketua DPP KNPI yang kala itu dijabat Tjahyo Kumolo.
Usai diresmikan jadi DPD II KNPI Kotif Bontang, mereka lantas melakukan rekrutmen. Beberapa pemuda potensial dari berbagai latar belakang masuk. Di antaranya, yang kemudian dikenal sebagai anggota Tim Sebelas. Yakni Rusli Burhan, Kaharuddin Jafar, Syamsuddin Bana, Roy Basuki, Ridwan Habibon, Kamran Haya, Muslim Arsyad, Bestari Alamsyah, Mansyah Musfa, dan Mulyana.
“Rusli Burhan dan Kaharuddin Jafar itu dari Pupuk Kaltim. Kami masuk (ke KNPI) agar memudahkan perjuangan,” beber Abd Muis.
Para pemuda ini berpikir, status Kotif masih tak cukup untuk memacu pembangunan dan mendorong kesejahteraan warga. Status daerah harus benar-benar otonom, tidak bergantung Kabupaten Kutai lagi. Agar Bontang bisa mengurus rumah tangganya sendiri.
Maka dalam Musda DPD II KNPI Kotif Bontang pada 1994, salah satu butir perjuangannya ialah mendorong Bontang menjadi otonom. Sejatinya kala itu mereka mendorong agar Bontang menjadi kabupaten, alih-alih kota.
Adapun dalam rancangan para pemuda ini, Bontang menjadi ibu kota dengan melingkupi beberapa daerah. Pertama, bernama Kutai Pantai, dengan sebaran wilayah mulai Muara Badak, Marangkayu, Bontang, dan beberapa daerah di Kutim. Kedua, Kabupaten Kutai Pantai meliputi Marangkayu, Santan, dan beberapa daerah di Kutim, dan opsi terakhir Kota Bontang.
“Sebenarnya kami mau jadikan Bontang sebagai Kabupaten,” katanya.
Upaya mereka meminta ke Bupati Kukar saat itu, AM Sulaiman selalu mandek. Ia kekeh tak mau melepas Bontang, terlebih di sana ada perusahaan besar yang bisa menyumbang pemasukan daerah cukup besar.
Gagal di bupati, para pemuda kemudian meminta ke DPRD Kabupaten Kutai. Mereka mendesak rekomendasi diterbitkan. Karena selalu didesak, DRPD Kabupaten Kutai yang kala itu dipimpin Syaukani pada 1998 akhirnya memberikan rekomendasi agar Bontang otonom. Rekomendasi serupa juga diperoleh dari Pemerintahan Tingkat I — sekarang Pemrov Kaltim.
Medio 1994-1997, Tim Sebelas mulai berkoordinasi dengan pemerintah pusat guna mencari tahu apa saja dokumen dibutuhkan agar daerah bisa otonom. Setelah mengetahui yang dibutuhkan, dokumen tersebut mulai dikumpulkan oleh Tim Sebelas, pun dibantu beberapa staf pemerintah Bontang saat itu. Adapun dokumen yang dibutuhkan ialah peta Bontang, jumlah penduduk, luasan wilayah, dan potensi wilayah. Semua harus disusun dan terdokumentasi dengan baik. Untuk penyusunan proposal dan penyusunan dokumentasi ini, yang menjadi pemeran utamanya ialah Sekretaris DPD II KNPI Kotif Bontang kala itu Kaharuddin Jafar.
“Kalau dokumen dan yang susun proposal, Pak Kahar jagonya,” ujar Abd Muis, yang disambut tawa oleh kawannya yang lain sore itu.
Ditambahkan Kaharuddin Jafar, kala itu syarat untuk menjadi kota butuh 3 kecamatan. Sementara kala itu Bontang hanya punya dua kecamatan. Jumlah penduduk pun masih kurang. Namun karena mereka ingin sekali Bontang otonom, semua “dimungkinkan”. Kediaman Rusli Burhan di Kecamatan Belimbing tiba-tiba disulap jadi “Kantor Camat Bontang Barat”.
“Terpaksa ada kecamatan siluman. Daripada tidak memenuhi. Kami foto, dan dilampirkan dalam dokumen,” kata mantan Ketua DPRD Bontang ini.
Setelah dokumen terkumpul, Tim Sebelas mulai menyusun rencana ke Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Namun yang pergi duluan kala itu ialah Syamsuddin Bana. Ia diminta duluan ke Jakarta untuk melobi atau menyusun jadwal pertemuan bersama pejabat di Depdagri, dan Komisi II DPR RI perwakilan Kaltim untuk mencari dukungan.
Sekitar November 1998, Tim Sebelas menyambangi Jakarta. Hanya Tim Sebelas yang ke Jakarta. Tidak ada yang lain. Mereka datang ke sana dengan ongkos hasil urunan sendiri, dibantu dari Pupuk Kaltim, dan tiket pesawat dari Badak LNG. Sementara untuk penginapan, mereka tinggal di mes milik Pemrov Kaltim. Satu ruangan sampai 8 orang. Susah payah mereka dari Bontang ke Jakarta untuk mewujudkan keinginan otonom ini.
Di Depdagri, mereka disambut Dirjen Otonomi Daerah Dr Kautsar. Di sana, Tim Sebelas mempresentasikan dokumen yang dibawa, dan alasan mengapa Bontang harus otonom. Melihat semangat dah presentasi pemuda ini yang sangat meyakinkan, Dirjen Otonomi Daerah terpukau.
“Bahkan dia bilang mestinya Bontang bisa otonom bersamaan dengan Tarakan,” ujar Kaharuddin Jafar.
Setelahnya, pejabat Depdagri berjanji akan menyambangi Bontang dalam 3-4 bulan ke depan. Dan rupanya benar, sekitar pertengahan 1999 pejabat Depdagri ke Bontang, dan melihat kondisi di daerah.
Pintarnya Tim Sebelas kala itu, mereka tidak membawa pejabat Depdagri lewat jalan kampung. Tapi melalui jalan di PT Badak, ke Yabis, memasuki kawasan PKT, dan menginap di Hotel Sintuk. Hanya kawasan yang bagus saja ditunjukkan, guna meyakinkan bahwa Bontang siap otonom.
“Kami-kami saja yang atur, mereka mau ke mana,” Rusli Burhan menambahkan.
Bontang kemudian berhasil mendapatkan otonominya pada 12 Oktober 1999. Ini berdasarkan UU Nomor 47 tahun 1999 tentang otonomi daerah.
Sekitar 5 tahun Tim Sebelas berusaha agar Bontang bisa mandiri. Tentu dalam prosesnya, mereka dibantu lapisan masyarakat lain. Baik dari organisasi kemasyarakatan, aktivis, lembaga swadaya masyarakat atau para pemuka agama.
Usai ditetapkan sebagai kota, Tim Sebelas kini dapat bernapas lega. Perjuangan mereka terbayar tuntas. Walau setelahnya, mereka kembali dengan rutinitas masing-masing. Beberapa jadi pejabat lokal, kepala sekolah, pejabat perusahaan, dan warga biasa.
“Tapi kami dulu bergurau. Nanti kalau ada di antara kami jadi pejabat, didatangi rumahnya tapi tidak dibuka, kami tendang pintunya,” ujar Ridwan Habibon sembari berkelakar.
“Saya minta sama teman-teman. Jangan pernah mengemis dengan pemerintah. Kecuali mereka yang beri. Jangan nodai perjuangan kita,” tandas Abd Muis. (*)