DAHULU, medio tahun 1970-an, Harijat sekadar membantu ibunya membuat makanan khas Kutai, pecak. Ia sendiri tak tahu bagaimana cara membuatnya. Hanya ibu, tante, dan umumnya, orang dewasa yang mampu membuat makanan yang terbungkus daun pisang itu.
Kegiatan membuat pecak tidak dilakukan saban hari. Ada waktu khusus. Harus spesial. Yakni di acara-acara besar. Dan bulan suci Ramadan.
Ibu Harijat, rutin membuat pecak setiap Ramadan. Itu aktivitas tahunan. Saban tahun cuma jadi “tukang bantu”. Dari awalnya tak tahu apapun. Lambat laun Harijat belajar. Bumbu apa saja yang dibutuhkan. Cara mengolah. Cara membungkus.
Semua ini butuh waktu yang tidak sebentar. Seingat Harijat, ia baru mampu membuat pecak sendiri sekitar tahun 1978. Ketika sudah menikah. Ketika sudah punya dua anak.
Namun perlu diingat. Mampu membuat pecak adalah satu hal. Namun mendapat cita rasa terbaik adalah hal lain. Kembali, eksplorasi rasa ia lakukan. Dan tentu, menahun. “Dulu saya cuma bantu orang tua (Ibu). Lihat cara buatnya. Lama saya belajar. Akhirnya waktu punya dua anak, baru bisa saya buat sendiri,” ujar Harijat kala disambangi Bontangpost.id di kediamannya, Jalan Tari Jepen, Kelurahan Guntung, Kecamatan Bontang Utara, Sabtu (9/5/2020) siang.
Selang 42 tahun, usai mampu membuat pecak sendiri, nenek 59 tahun itu senantiasa menjaga tradisi. Saban Ramadan dia terus membuat pecak. Selain untuk dikomersilkan. Juga disalurkan ke Masjid Nurul Huda. Sekitar 50 meter dari kediamannya. Biasa dia menyumbang 100 bungkus pecak sebagai menu buka puasa. “Selama pandemi, sudah enggak bisa kasih ke masjid. Karena tidak ada buka bersama,” beber Harijat.
Padahal kalau tidak pandemi, pecak buatan Harijat selalu habis dikeroyok jemaah. Mau itu anak-anak atau dewasa. Untuk sementara ini, Harijat pun tak menjual pecak di pasar Ramadan. Khawatir juga dengan perkembangan Covid-19. Sebabnya, dia, dibantu cucunya, menjual pecak hanya berdasarkan pesanan. Enam bungkus pecak dihargai Rp 20 ribu. Cukup dijangkau kantong untuk sebuah makanan yang istimewa dan punya catatan panjang.
[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=-51vGsb3tQY[/embedyt]
ISTIMEWA DALAM KESEDERHANAAN
PECAK bukan makanan yang terlihat rumit. Justru sebaliknya. Amat sederhana. Nuansa Indonesia-nya bahkan sangat kental. Bungkusnya saja dari daun pisang. Komposisinya pun tak aneh-aneh. Mudah ditemui di pasar. Pertama, beras dimasak bersama santan. Tak beda dengan memasak nasi pada umumnya.
Langkah selanjutnya adalah isian. Untuk ini dibutuhkan bumbu. Semisal cabai, tomat, bawang merah, bawang putih, dan bumbu lain. Semua dimasak, diberi garam. Dan jadilah, sambal gammi. Ini lebih kering dari gammi biasa. Gammi yang kerap dijumpai di rumah makan yang biasa lebih basah karena banyak minyak.
Nasi yang sudah matang lantas dipipihkan di atas daun pisang. Di atasnya diisi sambal gammi, lantas ditutup lagi dengan nasi. Setelahnya, gumpalan nasi dibungkus menggunakan daun pisang. Voila, pecak siap disantap. Sekilas mata, tampilan pecak tak ubahnya pais pisang.
Lantas bagaimana rasanya. Ketika pecak pecah di lidah, ada rasa gurih dari nasi yang sebelumnya dimasak bersama santan. Kemudian ada kombinasi asin, sedikit manis, dan pedas memenuhi lidah. Ini berasal dari sambal gammi.
Menyantap 3 bungkus pecak cukup mengisi perut kosong usai berpuasa sehari penuh. Kata Harijat, makin nikmat lagi bila pecak ditemani sayuran, dan dimakan ramai-ramai. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post