BONTANGPOST.ID, – Nama Ki Hadjar Dewantara tak bisa dilepaskan dari sejarah pendidikan dan kemerdekaan Indonesia.
Lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta, ia bukan hanya dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional, tetapi juga sebagai tokoh yang meretas jalan kemerdekaan melalui jalur yang sunyi dan penuh pengorbanan: pendidikan.
Berangkat dari keluarga bangsawan Paku Alam, Soewardi sempat mengenyam pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) dan STOVIA, namun tidak menyelesaikannya karena alasan kesehatan (Ki Hajar Dewantara Pemikiran dan Perjuangannya: 2017).
Ia kemudian aktif di dunia jurnalistik, menulis dengan tajam di berbagai surat kabar seperti De Expres dan Oetoesan Hindia.
Tulisannya yang berjudul “Als ik eens Nederlander was” (Seandainya Aku Seorang Belanda) menjadi tonggak kritik kolonial yang mengguncang Hindia Belanda, hingga akhirnya ia diasingkan ke Belanda bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker—mereka dikenal sebagai Tiga Serangkai.
Namun, pengalaman pengasingan justru membentuk paradigma baru dalam pikirannya. Ia menyadari bahwa perjuangan lewat politik tidak cukup membawa perubahan mendasar. Ia pun kembali ke Tanah Air dengan tekad baru: membangun bangsa dari akar melalui pendidikan.
Maka lahirlah Taman Siswa pada 3 Juli 1922—sebuah sekolah bagi anak-anak bumiputra yang didirikan dengan semangat kemerdekaan dan kebudayaan nasional.
Ki Hadjar percaya bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan yang membebaskan. “Pendidikan harus menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya,” tulisnya dalam salah satu esainya.
Ia merumuskan sistem among, yakni sistem pendidikan yang berlandaskan kasih sayang, kebebasan, dan tanggung jawab. Prinsip “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” bukan sekadar semboyan, tapi filosofi hidup yang mengakar kuat dalam proses pendidikan nasional.
Bagi Ki Hadjar, sekolah bukan sekadar tempat belajar, tapi ruang peradaban. Ia menolak sistem pendidikan kolonial yang represif dan diskriminatif. “Politik tidak akan mengubah nasib bangsa, kecuali jika dibangun lewat pendidikan yang mencerdaskan dan memerdekakan,” demikian catatan M. Yamin tentang pandangan Ki Hadjar setelah kembali dari pengasingan.
Perjuangannya tak berhenti di sana. Ketika pemerintah kolonial memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar tahun 1932, yang menghambat kegiatan pendidikan Taman Siswa, Ki Hadjar memilih perlawanan damai melalui prinsip ahimsa dan passive resistance.
Hingga akhir hayatnya, Ki Hadjar Dewantara tetap menjadi simbol perlawanan yang sunyi namun membekas dalam. Ia wafat pada 26 April 1959, dan kini dikenang tak hanya lewat gelar Pahlawan Nasional, tapi juga lewat Hari Pendidikan Nasional yang ditetapkan setiap 2 Mei, tepat pada hari kelahirannya.
“Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” – Ki Hadjar Dewantara. (KP)