BONTANGPOST.ID, Bontang – PT Bontang Migas dan Energi (BME) memiliki kerugian di akhir tahun lalu.
Berdasarkan hasil audit akuntan publik, kerugian mencapai Rp141.276.872. Sejatinya pendapatan operasional perusahaan mengalami peningkatan dibandingkan tahun lalu.
Pada 2022 pendapatan mencapai Rp33.132.693.168. Setahun berikutnya menjadi RP46.230.254.590. Adapun beban pokok penjualan juga mengalami kenaikan menjadi Rp41.926.536.155. Dari tahun sebelumnya yaitu Rp26.646.495.507.
Beban usaha termaktub beban operasi senilai Rp4.415.343.480 dan beban umum dan administrasi yakni Rp514.726.552. Total keduanya mencapai Rp4.930.070.032. Dari akumulasi dengan pendapatan maka kerugian usaha sejumlah Rp626.351.597.
Sementara jumlah pendapatan atau beban lain-lain senilai Rp390.600.170. Sehingga kerugian sebelum terkena pajak menjadi Rp235.751.427. Namun setelah dikalkulasi dengan beban pajak dan pendapatan komprehensif lain menjadi Rp141.276.872.
PT BME juga memberikan dividen ke kas daerah senilai Rp500 juta. Sehngga saldo per 31 Desember 2023 untuk modal saham yakni Rp3.030.235.000. Kemudian saldo laba/rugi yakni Rp2.854.814.230, komponen ekuitas lain Rp435.734.053. Total ekuitas perusahaan Rp6.320.783.283.
Dirut PT BME Erwin tidak bisa memberikan keterangan dengan kondisi ini. Menurutnya situasi ini terjadi sebelum kepemimpinannya.
“Boleh ditanyakan ke pejabat saat itu,” kata Erwin.
Diketahui Erwin dilantik menjadi dirut pada 26 Juli 2024.
Sebelumnya diberitakan, PT BME menghadapi masalah keuangan yang cukup serius akibat utang ke PT Pertamina. Pada akhir tahun lalu, BUMD ini mengalami kerugian sebesar Rp10 miliar.
Akhmad Suharto, Dewan Pengawas PT BME, mengonfirmasi kondisi ini. Menurutnya, kerugian tersebut bukan disebabkan oleh bisnis yang ada, melainkan karena tagihan dari Pertamina yang molor sejak 2019 hingga 2022.
“Ada tagihan tambahan sebesar Rp10 miliar,” kata Harto.
Akibatnya, hasil audit dari KAP harus dimasukkan dalam perhitungan tahun 2023. Padahal, tahun 2023 PT BME sebenarnya memperoleh keuntungan, namun akibat utang yang ditagihkan belakangan, perusahaan jadi merugi.
“Tagihan itu harus dibayar. Itu dari Kementerian ESDM,” tambahnya.
Tagihan tersebut berkaitan dengan kenaikan harga gas pada tahun sebelumnya. Sebelumnya, PT BME membayar 5 dolar per MMBTU, namun kemudian naik menjadi 5,95 dolar per MMBTU.
“Selisih itu dalam kurs rupiah menjadi Rp10 miliar,” jelas Harto.
Secara proporsional, PT BME mendapat 20 persen dari total tagihan, sementara masing-masing 40 persen dibebankan kepada PT BBG dan PT BBRI.
Akibat dari belum dibayarnya tagihan tersebut, pasokan listrik untuk PT Blackbear diputus sejak 1 Februari 2024.
“Kami kewalahan karena tagihan datang belakangan,” pungkasnya. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post