PEMERIKSAAN kepolisian atas kasus dugaan pungutan liar (pungli) di terminal peti kemas (TPK) Palaran, Samarinda terus membuahkan hasil. Setelah DHW, sekretaris Tenaga Kerja Bongkar Muat Koperasi Samudera Sejahtera (TKBM Komura) Samarinda ditetapkan sebagai tersangka, kini aparat kembali menetapkan dua tersangka lainnya.
Dengan demikian, sudah tiga orang menjadi tersangka dalam kasus tersebut. Meski demikian, Polda Kaltim masih menutup rapat nama maupun peran kedua tersangka tersebut dalam kasus operasi tangkap tangan (OTT) itu.
Hingga kemarin (19/3) pukul 20.00 Wita, pemeriksaan terus dilakukan secara maraton oleh penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri bersama Subdit Tindak Pidana Korupsi Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Subdit Tipikor Ditreskrimsus) Polda Kaltim.
“Ini masih terus berkembang. Sementara sudah ada tiga tersangka. Identitas dua tersangka akan kami beber besok (hari ini, Red.) di Samarinda,” ungkap Direskrimsus Kombes Pol Nasri bersama Kabid Humas Kombes Pol Ade Yaya Suryana, malam tadi.
Setidaknya, sudah lebih 20 saksi dimintai keterangan, termasuk pemeriksaan DHW. Dari saksi tersebut, di antaranya ada Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang. Penetapan tersangka sekretaris Komura, berdasarkan pasal 368 KUHP, dan atau pasal 3,4,5 UU No 8/2010, dan atau pasal 12e UU No 31/1999 Jo 56 KUHP.
Sedangkan untuk barang bukti uang Rp 6,1 miliar yang diamankan di kantor Komura diduga hasil kejahatan. Uang tersebut diamankan Tim Sapu Bersih Pungli (Saber Pungli) Mabes Polri dan Polda Kaltim, Jumat (17/3).
Data dari Polda Kaltim menyebutkan, PT Pelabuhan Samudera Palaran (PSP) adalah pengelola TPK Palaran. Selama kurun waktu setahun 2016-2017, PT PSP telah melakukan pembayaran sebanyak Rp 31 miliar.
Sementara, fakta diperoleh penyidik Komura tidak memiliki legalitas melakukan tenaga kerja bongkar muat (TKBM) di TPK Palaran, Samarinda. Selain itu TPK Palaran juga tidak memerlukan TKBM banyak.
“Karena proses bongkar muat menggunakan alat crane, sehingga dalam hal proses bongkar muat, keperluan TKBM disesuaikan permintaan TPK Palaran,” kata Ade.
Namun Komura mengharuskan TPK Palaran menerima jasa TKBM sesuai tarif dan jumlah ditetapkan secara sepihak, atas aktivitas bongkar muat. Ditengarai, setiap kapal akan bongkar muat diminta tarif TKBM Rp 182.780 per kontainer ukuran 20 feet, dan Rp 274.167 ukuran 40 feet. Tarif ini dimintakan kepada PT PSP selaku pengelola TPK Palaran.
“Biaya TKBM diminta Rp 5 juta di muka dan sisanya setelah kontainer diturunkan,” jelasnya.
Komura terindikasi melakukan pemerasan dengan cara menolak mengikuti pedoman penentuan tarif bongkar muat yang tercantum pada pasal 3 ayat 1 Permenhub KM No 35 Tahun 2007 tentang Pedoman Perhitungan Tarif Pelayanan Jasa Bongkar Muat dari dan ke Kapal di Pelabuhan.
Selain itu, Komura menentukan tarif secara sepihak dan menolak untuk berdiskusi dengan PT PSP selaku penyedia jasa bongkar muat di Pelabuhan Palaran. Serta menerapkan tarif jasa kepelabuhanan yang seharusnya diterapkan di pelabuhan konvensional di mana jasa TKBM merupakan komponen utama.
Tarif yang seharusnya diterapkan di TPK, di mana jasa TKBM seharusnya berdasarkan permintaan TPK serta dimasukan ke paket container handling charge (CHC). Sehingga biaya TKBM tidak dibebankan kepada pemilik barang.
Indikasi ada ancaman terhadap perwakilan PT PSP saat perundingan penentuan tarif bongkar muat bersama dengan Pelabuhan Indonesia (Pelindo) dengan cara menolak untuk berunding. Kemudian membawa massa di luar lokasi perundingan untuk mengintervensi pembentukan keputusan penentuan tarif tersebut.
Itu bertentangan dengan pasal 3 huruf b butir 5 Inpres No 5 Tahun 2005, Pasal 109 UU 17/ 2008 dan PM No 61/2009 yaitu penarikan tarif kepelabuhanan harus disesuaikan dengan jasa yang disediakan.
KLARIFIKASI DI JAKARTA
Ketua TKBM Komura Jafar Abdul Gaffar mengaku kaget dengan penemuan Rp 6,1 miliar oleh Tim Saber Pungli di kantornya yang menurut kepolisian merupakan uang hasil pungli. Rasa heran itu muncul sebab menurut dia, uang di brankas Komura tiap bulannya tak lebih dari Rp 3 miliar.
Walau begitu Jafar tak mau langsung sependapat dengan pihak berwajib bahwa uang itu diduga hasil pungli, pencucian uang atau malah pemerasan. “Mungkin uang itu, waktu itu baru diambil dari bank dan belum digunakan tapi keburu disita polisi,” ucap Jafar saat menggelar jumpa pers di sebuah hotel di kawasan Jakarta Pusat, Minggu (19/3).
Soal rincian uang bisa sampai Rp 6,1 miliar, anggota DPRD Samarinda itu menyebut, tak tahu persis. Sebab sejak kasusnya mencuat akhir pekan lalu, dia belum bertemu dengan bendahara Komura.
Namun pengeluaran rutin koperasi per bulannya mulai gaji buruh, membayar utang, sampai membayar panjar transportasi buruh yang akan bekerja di kapal yang akan dimuat atau dibongkar muatannya.
“Sabtu kemarin itu seharusnya mau ada rapat anggota. Soal uang bendahara yang tahu, tapi sampai sekarang saya belum ketemu dia,” tegas politikus Partai Golkar itu.
Dijelaskan juga, besar kecilnya uang yang didapat koperasi sangat bergantung pada sedikit banyaknya jumlah kapal yang bongkar muat di TPK Palaran.
Jafar yang didampingi pengacara Komura, Abdullah Subur, menyebut semua uang yang masuk sesuai aturan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Semisal Permenhub No 35 Tahun 2007. Permenhub ini menurut Abdullah, memperbolehkan koperasi meminta panjar 30 persen ke pemilik barang sebagai tanda jadi jasa pemindahan barang.
Aturan tersebut, lanjut Jafar, disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Artinya besaran nilainya sangat bergantung dengan lokasi bongkar muat. Maka, menurut Jafar, tak mungkin tarif bongkar muat kontainer di Palaran besarannya harus sama dengan di Surabaya senilai Rp 10 ribu per kontainer.
“Kalau di Papua tarif bongkar muatnya sama dengan Surabaya, apa pas,” tanya Jafar.
Jika tarif ini bermasalah, Jafar menilai seharusnya pihak terkait mengajak pihaknya bertemu satu meja untuk mencari pemecahannya bukan langsung memperkarakan seperti sekarang.
“Yang kami inginkan ada mediasi, karena Komura merasa tak ada yang keluar dari aturan,” ungkap Jafar.
Terkait DHW, sekretaris Komura yang kini ditetapkan tersangka, menurut dia, pihaknya sampai kemarin belum memutuskan apakah akan memberi pendampingan hukum. Sebelum memutuskan, Komura akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan pakar ketenagakerjaan, perhubungan, dan lainnya.
“Kami ingin tahu melanggar hukumnya di mana,” ungkapnya.
Yang pasti, baik Jaffar maupun Abdullah khawatir kasus ini akan mengganggu aktivitas bongkar muat di Palaran. Dari sisi koperasi, penentuan tarif bongkar muat sudah sesuai aturan, namun pihak berwajib menilai sebaliknya. Masalah lain adalah soal kelangsungan kerja Komura menyusul penyitaan Rp 6,1 miliar oleh kepolisian.
Hal ini perlu dipikirkan, karena sejak dibentuk tahun 1985, buruh dan anggota Komura kini sudah mencapai 1.300 kepala keluarga. Ditambahkan Jaffar, Komura bukanlah koperasi biasa tapi sudah diakui secara nasional. Sudah berulang organisasinya mendapat penghargaan hingga yang terbaru penghargaan lencana karya pembangunan dari Presiden Jokowi pada 2015 lalu. (aim/pra/rom/kpg/gun)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: