bontangpost.id – Dinas Perkebunan Kaltim menetapkan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit pada April 2022 sebesar Rp 3.577 per kilogram. Namun, saat ini banyak pabrik kelapa sawit (PKS) membeli di bawah itu. Rata-rata pada kisaran Rp 2.000–3.000 per kilogram.
Sulitnya para petani mendapatkan harga sesuai ketetapan masih erat kaitannya dengan larangan ekspor crude palm oil (CPO) beserta turunannya yang dilakukan pemerintah sejak 28 April lalu. Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kutai Kartanegara Daru Widiyatmoko mengatakan, harga TBS yang ditetapkan per bulan oleh Dinas Perkebunan diumumkan akhir bulan, sedangkan provinsi lain menggunakan bulan berjalan.
Seharusnya harga yang ditetapkan Mei, namun yang diumumkan malah April. Jadi sudah lewat waktunya. Padahal, harga-harga yang sudah ditetapkan per bulan merupakan standar bagi para petani yang sudah bermitra dengan perusahaan pemilik pabrik kelapa sawit di Kaltim, khususnya kebun plasma.
“Jadi kalau yang bulan Mei ini, kami hanya mengikuti harga edaran dari masing-masing perusahaan. Menurut kami, sebenarnya kalau harga kita mau dibeli atau dijual kalau ada dasarnya lebih enak, kalau sekarang ini mau nuntut minta sesuai harga Disbun Kaltim tapi tidak sesuai bulannya. Sebab, harga Mei belum ada, selama ini menjadi kendala petani,” tuturnya.
Menurut dia, saat ini harga TBS kelapa sawit yang dibeli PKS hanya sekitar Rp 2.000–3.000 per kilogram untuk kelapa sawit usia 10 tahun ke atas. Meski menurun, harga TBS di Kaltim saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan daerah penghasil sawit lainnya. Kalau dibandingkan Sumatra Utara, Pekan Baru, Jambi maupun daerah lainnya, harga TBS hanya Rp 1.700–1.800 per kilogram.
Harga di Kaltim yang lebih tinggi ini berbanding terbalik sebelum adanya larangan ekspor. Sebelum larangan ekspor harga TBS Kaltim malah paling rendah dibandingkan daerah-daerah tadi. “Tingginya harga TBS Kaltim bisa saja disebabkan PKS di daerah ini jauh lebih baik dibandingkan daerah lain,” tuturnya.
Namun yang jelas, menurut Daru, masih menurunnya harga TBS ini disebabkan larangan ekspor yang masih berjalan. Larangan ekspor ini masih menjadi masalah utama yang harus diselesaikan. Para petani berharap larangan ini segera dicabut baru bisa harga TBS kembali meningkat. Kalau tidak secepatnya dicabut, harga bisa terus anjlok, bahkan bisa lebih rendah dari saat ini.
Pihaknya berharap, larangan ekspor bisa dicabut Mei ini. Kalau tak kunjung dicabut, yang paling dirugikan adalah petani kelapa sawit. Belum lagi, surat edaran yang dilakukan gubernur Kaltim kepada perusahaan tidak berpengaruh banyak.
“Saya sudah pantau, di Kukar, Paser, Kutim, dan lainnya belum ada perusahaan yang membeli TBS sesuai harga yang ditetapkan. Mereka masih membeli sesuai kemauannya, tidak sesuai aturan yang ditetapkan Disbun Kaltim. Tapi terlepas dari ini, kami tetap berharap larangan ekspor segera dicabut, agar perusahaan bisa mengekspor CPO dan harga kembali meningkat, otomatis harga TBS mengikuti. Intinya larangan dicabut, harga normal,” terangnya.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) juga meminta presiden untuk mengevaluasi larangan ekspor CPO. Terutama, jika kebijakan tersebut terbukti memberikan dampak negatif terhadap pengusaha kelapa sawit.
“Jika kebijakan ini membawa dampak negatif kepada keberlanjutan usaha sektor kelapa sawit, kami akan memohon kepada pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan tersebut,” imbuh Ketua Bidang Komunikasi Gapki Tofan Mahdi.
Pihaknya meminta seluruh pemangku kepentingan di industri sawit untuk ikut memantau dampak dari kebijakan tersebut di lapangan. “Kami mengajak seluruh pemangku kepentingan dalam mata rantai industri sawit untuk memantau dampak kebijakan tersebut terhadap sektor kelapa sawit,” ungkap Tofan.
Sementara itu, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, larangan ekspor 20 persen saja sebenarnya sudah cukup agar minyak goreng membanjiri pasar. Karena itu, dia menyebut larangan tersebut sebagai kebijakan yang “mubazir”.
“Secara politik bagus, tapi untuk apa? Kalau dilarang total terserap semua? 20 persen saja DMO kalau itu terdistribusi ke masyarakat, itu sudah banjir lautan minyak goreng,” katanya. Menurut Tulus, kebijakan presiden itu lebih banyak dampak negatifnya daripada positif. Toh, kebijakan belum tentu menurunkan harga minyak goreng di pasaran. Yang ada, kebijakan tersebut justru berpotensi menutup pendapatan negara dari devisa ekspor.
Selain itu, Indonesia berisiko mengalami perang dagang dengan negara lain. Sebab, larangan tersebut akan membuat negara lain protes keras mengingat Indonesia merupakan produsen CPO terbesar dunia, dan pasokan internasional sudah terganggu karena perang Ukraina-Rusia.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, keputusan melarang ekspor CPO tidak menyelesaikan masalah yang ada. Menurut dia, larangan ekspor CPO seperti mengulang kesalahan pemerintah yang memberhentikan ekspor komoditas batu bara pada Januari lalu. “Apakah masalah selesai? Kan tidak, justru diprotes oleh calon pembeli di luar negeri. Cara-cara seperti itu harus dihentikan,” kata Bhima.
Dia menilai, kebijakan Jokowi justru akan menguntungkan negara lain yang juga merupakan produsen minyak sawit, seperti Malaysia. Tak hanya itu, Indonesia berpotensi kehilangan devisa ekspor senilai USD 3 miliar devisa negara atau setara dengan Rp 43 triliun lebih (kurs 14.436 per dolar AS).
“Selama Maret 2022, ekspor CPO nilainya USD 3 miliar. Jadi estimasinya Mei, apabila asumsinya pelarangan ekspor berlaku satu bulan penuh, (Indonesia) kehilangan devisa sebesar USD 3 miliar. Setara 12 persen total ekspor nonmigas,” kata dia. (ndu/k8)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post