bontangpost.id – Lemahnya pengawasan serta penindakan pemerintah dan aparat membuat tambang ilegal di Samarinda tumbuh subur. Aktivitas terselubung itu menyasar wilayah utara Samarinda. Salah satunya di Muang Dalam, Kelurahan Lempake. Setelah sempat berhenti beroperasi saat banjir besar awal September lalu, penambang kembali berulah. Bahkan semakin terang-terangan, mengeruk dan mengangkut emas hitam di atas lahan seluas 11 hektare atau setara 11 lapangan sepak bola.
“Memang sempat stop, mungkin karena ramai diberitakan. Tapi sudah jalan lagi. Bahkan di Muang Dalam itu, sudah banjir dua kali lagi,” kata salah seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan kepada Kaltim Post, Minggu (19/9).
Dia melanjutkan, selain lahan yang ditambang lebih luas, alat berat yang mengeruk juga lebih banyak dari sebelumnya. Bahkan menggunakan alat berat jenis articulated dump truck atau ADT.
Dari pagi hingga malam, mesin alat berat terus menyala mengeruk batu bara yang diduga secara ilegal. Hasil batu bara yang telah ditambang, kemudian diangkut melalui jalan umum Desa Budaya Pampang. Lalu, menggunakan jalan umum lainnya dengan tujuan jetty di perairan Sungai Kunjang. “Dulu lewatnya Jalan Ambalut sini, naik terus sampai ke Desa Embalut, Kukar. Tapi sekarang lewat Desa Budaya Pampang. Mereka bisa jalan lewat situ, saya dengar bayar sekitar Rp 120 juta. Kalau enggak salah,” katanya.
“Pernah disidak 2019, penambangnya ditangkap sama gakkum (Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), dititipkan di tahanan Polresta Samarinda. Ada beritanya kok. Maka dari itu, aneh kalau sekarang bilang baru tahu. Padahal waktu itu, ekskavatornya dibawa juga. Itu orang yang sama. Cuma geser-geser saja lokasinya. Pernah juga waktu kunjungan presiden mau resmikan jalan tol (Tol Balsam), ada petugas datang,” bebernya.
Ahad (19/9), Kaltim Post melakukan penelusuran terkait kembali beroperasinya pertambangan yang diduga ilegal itu di hulu Waduk Benanga. Dari pantauan, aktivitas terselubung itu benar-benar ada. Puluhan dump truk pengangkut batu bara tak henti-hentinya bergerak menuju lokasi pengerukan emas hitam. Ditelusuri lebih dalam, sebelum menuju lokasi penggalian, terdapat sebuah pos penjagaan, lengkap dengan beberapa penjaga. Pos ini tepatnya berada di sisi kanan Jalan Rejo Mulyo menuju Desa Budaya Pampang.
Tumpukan batu bara juga terlihat jelas di dekat lubang bekas galian. Setidaknya, lebih dari empat tumpukan emas hitam sepanjang pengamatan media ini. Dari keterangan warga sekitar, tambang ilegal berada di atas bukit, di antara permukiman warga Muang Dalam dan Desa Budaya Pampang. Lokasi inilah, diduga asal mula banjir yang kian parah belakangan ini di Samarinda Utara. Bahkan membuat mayoritas petani gagal panen akibat banjir menggenangi lahan pertanian. Termasuk merusak sumber air masyarakat.
Warga tersebut melanjutkan, dua hektare kebun miliknya terendam dan tidak bisa ditanami hingga saat ini. “Yah habis kemarin itu, gagal panen. Bahkan sampai sekarang enggak menanam, bedengan masih berlumpur,” keluhnya. Nasib serupa juga dirasakan warga lainnya. Pria berusia lanjut yang juga meminta identitasnya dirahasiakan mengatakan, sayur-mayur yang ditanamnya kini tertimbun lumpur. Tak ada yang dapat dipanen. Sumur bor miliknya juga tak bisa lagi mengeluarkan air. “Sekarang cuma pakai air sungai di belakang (rumah) tapi ya keruh,” sebut pria tinggal di Muang Dalam sejak tahun 80-an itu.
Dia menyampaikan, sejak awal, warga sudah menolak adanya aktivitas pertambangan di dekat permukiman. Meskipun empat tahun lalu, penambang menjanjikan air bersih hingga kompensasi uang debu dan bising. Dirinya sudah berpikir akan dampak yang ditimbulkan pada lahan perkebunan di bawah bukit yang kini ditambang.
“Sebelum jalan tambang itu, warga dimintai tanda tangan yang akhirnya ada perjanjian air bersih dan lainnya. Tapi sekarang malah air lumpur. Wah sialan ini. Saya dan beberapa warga memang enggak setuju dari awal, tapi ya bagaimana kalau lebih banyak yang setuju. Lagi pula yang punya tanah juga jual tanahnya, ya, jadinya begini,” ucapnya.
Dia melanjutkan, keluhan terkait dampak pertambangan telah disampaikan kepada ketua RT. Namun keluhan itu seakan tak dihiraukan. Dia menduga, keluhan warga tidak sampai ke kelurahan dan kecamatan. Walhasil, aktivitas pertambangan tetap berjalan. “Sudah (dilaporkan) dari dulu, tapi ya begitu. Enggak ditanggapi,” katanya. “Yah begini masyarakat kecil, bisanya ngeluh, ngeluh saja,” timpal warga lainnya.
Harian ini berupaya mengonfirmasi Ketua RT 33 Zavid, dan Ketua RT 47 Jumain dengan menyambangi kediaman keduanya kemarin. Namun tidak berada di tempat. Saat ditelefon, panggilan Kaltim Post kepada Zavid tidak kunjung direspons hingga pukul 21.00 Wita. Sementara Jumain, dia menyampaikan jika sedang bekerja di Samboja, Kukar, dan tidak pulang selama dua hari terakhir.
Terkait legalitas penambang di wilayahnya, dia mengaku tidak mengetahui sama sekali. Sebab tak mendapatkan laporan. “Kalau RT enggak mengerti masalah itu. Karena enggak pernah permisi ketua lingkungan. Itu ada tambang, kan juga sering ganti orang. Kadang ada (tambang), kadang enggak ada. Tapi kalau masalah dari kapan, enggak mengerti juga. Saya jarang di rumah,” sebutnya.
Perihal aduan warga, dirinya mengaku jika selama ini belum mendapatkan laporan dari warga sekitar. “Kalau RT ini kan cuma penyambung lidah, kalau enggak ada warga lapor ke saya, ya saya mau lapor apa?” ucapnya sembari mengakhiri panggilan Kaltim Post.
Saat dicoba ditelepon ulang, dia tidak merespons. Meski sudah beroperasi cukup lama, tanda-tanda Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengecek lokasi tambang batu bara yang diduga ilegal itu, belum juga terlihat. Kabid Mineral dan Batu Bara (Minerba) ESDM Kaltim Azwar Busra baru masih mengagendakan kunjungan ke lapangan. (*/dad/riz)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post