Oleh: Dhedy/Ketua AJKT
TK2D juga buruh. Semua yang bekerja adalah buruh. Buruh, pekerja, karyawan, dan semisalnya, pada subtansinya adalah manusia perorangan, maupun kelompok yang bekerja dengan tenaga dan pikiran untuk sebuah tujuan. Mereka mengharapkan imbalan. Mungkin imbalan dunia, berupa uang, harta, tahta, maupun jabatan. Atau mungkin imbalan akhirat yakni pahala.
Hanya saja, sebagian manusia menilai, buruh memiliki derajat yang rendah ketimbang pekerja, atau karyawan. Katanya, buruh merupakan pekerja rendahan, hina, dan kasar.
Padahal, semua adalah sama. Hanya nama dan tingkatan yang membedakan. Namun tetap satu nama ialah pekerja. Atau biasa disebut Buruh profesional dan non profesional.
Buruh profesional biasa disebut buruh kerah putih. Yang bekerja menggunakan tenaga dan kemampuan pendidikan atau kompetensi. Sedangkan buruh non profesional biasa disebut buruh kerah biru. Mereka bekerja hanya menggunakan tenaga otot.
Hal ini sejalan dengan kata buruh yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan.
Pada Pasal 1 angka 3 menyatakan “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Pada pasal 1 angka 4 menyatakan “Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain “
Dari penjelasan diatas, jelas bahwa semua yang bekerja adalah buruh. Termasuk TK2D, maupun Bupati, Kepala Dinas, PNS, Anggota Dewan, guru, wartawan, karyawan tambang, pekerja toko, pembersih jalanan, pedagang, dan lainnya.
Namun fokus tulisan ini adalah TK2D. Ya, sembilan ribu lebih TK2D di Kutim. Buruh TK2D wajib diperjuangkan. Tapi ingat, TK2D yang menjalankan haknya. Bukan yang bermalas-malasan dalam bekerja. Selasa datang, Kamis pulang kampung. Berangkat kerja pukul 11.00 wita, pulang jam 13.00 wita. Bukan TK2D yang demikian. Yang seperti ini wajib ditendang. Tak laik. Hanya menjadi beban pemerintah.
Tetapi TK2D yang memenuhi kewajibannya, wajib diberikan haknya. Jika tidak, maka mereka terzolimi. Tentu pemerintah berdosa. Doa orang yang terzolimi, gampang terkabul.
Dari data yang ada, semua TK2D belum mendapatkan haknya secara utuh. Tidak hanya di Kutim, mungkin seluruh Indonesia. Mereka di gaji hanya sesuai dengan kemampuan daerah. Apalagi defisit seperti ini. Ya apa boleh buat.
Bukan itu masalah. Masalahnya ialah apakah pemerintah sudah berbuat. Begitupun legislatif. Apakah ada ihtiar untuk memperjuangkan. Jika ada, seberapa besar. Yang dibutuhkan ialah kesungguhan, bukan melepaskan kewajiban. Berhasil alhamdulillah. Gagal, tinggalkan.
Padahal jelas, setiap pekerja atau buruh memiliki hak untuk memperoleh perlindungan dalam menjalankan pekerjaannya. Pasal 86 ayat 1 UU Ketenagakerjaan menyatakan, “ Setiap pekerja/ buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas, kesempatan dan kesehatan kerja, moral dan keasusilaan, dan perlakukan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
Mereka semua harus diperjuangkan. Sebab mereka pekerja kontrak. Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) Kaltim 2018 sebesar Rp 2.543.331. Angka kenaikan sebesar Rp 203.775 dibandingkan UMP 2017. Penetapan tersebut berdasarkan PP Nomor 78/2015 tentang Pengupahan.
Jelas aturannya. Paling tidak, TK2D Kutim bisa merasakan gaji UMK. Tidak sesuai kemampuan. Larangannya jelas jika tidak sesuai dengan upah minimum. Pasal 90 UU Ketenagakerjaan mengatur hal itu. Poin satu, Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
Bahkan ada sanksinya. Ancaman pidana bagi yang membayar upah pekerjanya di bawah upah minimum adalah pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta. Cukup berat.
Tuntutan ini bukan tanpa alasan. Selain masalah hak, juga masalah kebutuhan. Biaya hidup di Kutim cukup tinggi. Garam saja Rp 4 ribu. Sayur Rp 4 ribu. Kencing bayar.
Gaji TK2D berapa. SMA Rp 900. S1 Rp 1,2 juta. Alhamdulillah mereka yang punya rumah. Paling bayar listrik dan air. Tapi yang ngontrak, bayar listrik dan air, hidupi istri dan anak. Tekor. Wajar, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut TK2D masuk golongan miskin.
Ini masih masalah gaji. Belum fasilitas kesehatan dan lainnya. Dari data, baru sekira 40 ribu TK2D yang mendapatkan hak BPJS. Selebihnya belum. Lagi-masalah defisit. Cukup dimaklumi. Konsep matang, namun anggaran nol, hasilnya nol. Tak dapat bekerja. Hanya bersabar. Mudahan saja TK2D mendapatkan haknya secepat mungkin. Terlebih bagi mereka yang sudah mengabdi bertahun-tahun. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post