SAMARINDA – Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) mendesak DPRD Kaltim membentuk panitia khusus (pansus) untuk menyusun peraturan daerah (perda) tentang perlindungan upah buruh. Pasalnya, masih banyak perusahaan di Kaltim yang tidak menerapkan penggaji buruh sesuai standar upah minimum kabupaten/kota (UMK).
Ketua SBSI Kaltim, Ismed Surya Rahman menyebut, perda tersebut diharapkan dapat melindungi upah buruh. Sebab banyak perusahaan yang menyepelekan Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Karena sanksinya hanya teguran dan pembinaan. Ada sih sanksi penutupan perusahaan. Tetapi saya tidak pernah menemukan sanksi itu diterapkan. Makanya harus ada perda. Sehingga bisa dijadikan pegangan buat pekerja di Kaltim,” katanya, Senin (19/11) kemarin.
Perda tersebut mesti memuat perlindungan upah berupa gaji pokok, tunjangan hari raya (THR), dan tunjangan lembur. Dia ingin lewat aturan di tingkat daerah itu, pengusaha yang melanggar aturan, dapat dipidana tanpa melewati prosedur yang rumit.
“Selama ini ada sanksi pidananya. Tetapi prosedurnya panjang. Mulai dari dinas, pengawas, penyidik pegawai negeri sipil, investigasi perusahaan, dan laporan ke kepolisian. Tahapan itu terlalu sulit,” ucap Ismed.
Meski gubernur telah menetapkan upah minimum provinsi (UMP), tidak semua perusahaan menerapkan keputusan tersebut. Jika demikian, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kaltim memiliki tugas untuk mengawasi pelaksanaan standar upah tersebut.
“Bagi perusahaan yang melanggar aturan pengupahan, belum ada teguran dari Disnakertrans. Terus Disnakertrans itu ngapain terima gaji untuk pengawasan? Kalau kami tanya, alasannya klasik. Enggak ada anggaran operasional,” terangnya.
Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan telah mengatur, bahwa setiap perusahaan diwajibkan menggaji buruh sesuai UMP atau UMK.
“Enggak usah jauh-jauh, di Samarinda saja, ada perusahaan yang menggaji buruh hanya Rp 2 juta. Banyak lagi perusahaan di Kaltim yang tidak menjalankan pengupahan sesuai aturan itu. Apalagi di sektor perkebunan. Itu sangat banyak,” sebutnya.
Apabila aturan tersebut tidak dijalankan, maka sanksi pidana dapat dikenakan pada pimpinan perusahaan. Kata dia, sanksi tersebut tidak berjalan mulus. Pasalnya, Disnakertrans diduga tidak responsif dalam menjalankan aturan negara.
“Kami sudah laporkan itu ke Disnakertrans. Enggak ada respons. Kayak kasus buruh yang baru-baru ini kami temukan. Kami sudah sampaikan temuan-temuan itu. Sayangnya enggak ada hasilnya,” kata Ismed.
Masalah lain dalam pengupahan perusahaan yang kerap muncul di Kaltim yakni pembayaran THR dan upah lembur. Dua masalah tersebut kerap diabaikan perusahaan.
“Komponen upah itu enggak cuma upah minimum. Ada upah lembur dan uang pengganti cuti. Itu enggak diberikan pada buruh. Ada lagi mengenai THR. Mestinya buruh yang sudah bekerja satu tahun, harus diberikan THR sebesar satu bulan upahnya. Paling sering kami temukan buruh dihentikan, tetapi tidak diberikan pesangon,” tegasnya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: