SANGATTA – Dilatarbelakangi belum adanya peraturan daerah (Perda) mengenai status Hutan Lindung Wehea di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur (Kutim), yang selama satu setengah tahun ini jalan ditempat. Pemkab dan Dinas Lingkungan Hidup (LH) Kutim bergerak cepat menangani permasalahan tersebut.
Dua narasumber berkompeten di bidangnya diundang dalam rapat tersebut guna mencari solusi penggodokan perda Huliwa sesuai Undang-Undang. Karena perda tersebut akan jadi payung hukum bagi Huliwa.
Diskusi yang dipimpin langsung Wakil Bupati Kasmidi Bulang ini, dihadiri Kepala DLH Kutim Ence Akhmad Rafiddin Rizal, Kepala DLH Kaltim Riza Indra Riadi, anggota DPRD Kutim Uce Prasetyo, dan Kepala Lembaga Adat Besar Wehea Ledjie Taq. Serta pemateri Kasubdit Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal Yuli Prasetyo dan Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) Rikardo Simarmata.
Kepala DLH Kutim Ence Akhmad Rafiddin Rizal, menuturkan beberapa poin kesepakatan terkait Perda Huliwa yang ditargetkan selesai tahun ini sebagai hutan adat terbesar harus disusun secepatnya. Pasalnya, untuk hukumnya melalui proses panjang.
Di antaranya identifikasi pemenuhan kriteria masyarakat hukum adat (MHA), desain proses penyusunan produk hukum mengenai pengakuan orang Wehea sebagai MHA dan penetapan hutan adat.
“Akan segera dituntaskan. Kami menghadirkan Pak Yuli dan Pak Rikardo mengawal Perda ini. Kegiatan ini menjadi kelanjutan rapat kordinasi 2015 lalu yang menghasilkan 8 item pokok isi Perda. Nah, masalah anggaran Perda tidak ada masalah karena didukung Pemkab Kutim. Desember 2017 diupayakan selesai,” ucap Rizal optimis.
Wakil Bupati Kasmidi Bulang pada pertemuan ini meminta komitmen semua pemangku kepentingan dalam penyusunan Perda Huliwa untuk bersama-sama bekerja. Mengapa? Karena Perda ini dinilai sangat penting demi jelasnya status hukum Huliwa yang sudah masuk skala prioritas Pemkab agar cepat diselesaikan.
“Untuk Huliwa, akan dipercepat penyelesaian perdanya. Berlandaskan payung hukum diakui oleh Negara dalam hal ini Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Mengingat dari informasi yang kami peroleh, Huliwa telah diserbu oleh para penambang emas illegal. Jarak dengan hutan adat cukup dekat hanya berjarak 3 kilometer. Ada aduan dari masyarakat aliran sungai sudah mulai tercemar dan susah mencari ikan,” kata Kasmidi.
Dia menambahkan, perda pelan-pelan diselesaikan dan dilaporkan jika sudah ada perkembangan. Sebelum bulan Ramadan Perda ini dimnita sudah masuk ke meja DPRD Kutim. Selanjutnya diverifikasi ke Kemen LHK.
Kasubdit Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan kearifan lokal Yuli Prasetyo, mengatakan ada syarat penting untuk penetapan hutan adat. Di antaranya MHA harus telah diakui oleh Pemkab dengan produk hukum daerah. Serta terdapat wilayah adat yang sebagian seluruhnya berupa hutan dan surat pernyataan dari masyarakat hukum adat untuk ditetapkan wilayah adatnya sebagai hutan adat.
“Peran Pemkab signififikan mempercepat Perda Huliwa tidak ada putus komunikasi dengan MHA. Ini kewenangan Pemkab sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 dalam penetapan tanah adat dilanjutkan dengan pengakuan MHA sudah sesuai kearifan lokal. Hasilnya menjadi penataan desa adat dibawah pengawasan Pemkab,” ujar Yuli. (hms13/drh)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post