SAMARINDA – Pada 2015 lalu, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kaltim pernah merilis data, terdapat 17 ribu balita mengalami gizi buruk. Merebaknya balita yang mengalami gizi buruk ini karena kurangnya perhatian ibu meningkatkan asupan gizi anak.
Hal itu diakui Kepala Seksi (Kasi) Kesehatan Dinkes Kaltim, Wahyudinata. Ia mengimbau pada para ibu untuk terus memperhatikan dan meningkatkan gizi anak. Pasalnya, ibu yang akan menentukan dan memahami masalah gizi anak.
“Makanya edukasi, penyuluhan, dan penyadaran soal gizi ini harus dimulai dari ibu balita. Karena dari ibu lah masalah gizi ini dimulai. Jika gizi anak baik, itu tandanya ibu benar-benar memperhatikan asupan makan anak,” jelasnya, Kamis (25/1) lalu.
Wahyudinata mengaku, gizi buruk umumnya dialami keluarga yang latar belakang ekonominya menengah ke bawah. Sebabnya, golongan ini cenderung mengabaikan pola makan dan pola hidup anak.
“Kalangan menengah ke bawah ini memberikan makanan yang tidak memenuhi standar gizi pada anak. Itulah sebabnya, banyak yang terkenan gizi buruk. Anak diberikan makanan bakso dan krupuk, sedangkan itu standarnya sangat rendah, tak heran gizi buruk didominisi kelompok ini,” ungkapnya.
Namun, tidak menutup kemungkinan masalah gizi buruk juga dialami masyarakat dengan tingkat ekonomi menegah ke atas. Karena masalah ini disebabkan pola hidup, pola makan, dan lingkungan.
“Ada juga dari kalangan ekonomi menegah ke atas yang pola makan anaknya buruk. Sehingga tak sedikit yang mengalami gizi buruk. Artinya apa? Ini soal perilaku, bukan semata-mata karena rendahnya asupan gizi yang diberikan pada anak,” terangnya.
Perilaku hidup yang dimaksud yakni makanan yang diberikan tidak teratur, ibu tidak menimbang anak secara rutin, dan kebersihan lingkungan sangat buruk. Soal lingkungan, ia memberikan catatan bahwa banyak anak gizi buruk karena saluran pembuangan air tidak dibenahi, di rumah banyak sarang lalat, dan sampah dibuang tidak pada tempatnya.
“Kebersihan lingkungan ini yang tidak diperhatikan secara serius, sehingga berpengaruh pada kesehatan anak dan timbulnya gizi buruk. Makanya harus seimbang antara pemenuhan gizi dan lingkungan, karena keduanya saling mendukung untuk menciptakan anak yang sehat,” imbuhnya.
Staf Ahli Bidang Ekonomi Pemerintah Provinsi Kaltim, Nina Endang Rahayu menyebut, hampir semua kota dan kabupaten di Benua Etam terdapat balita yang mengalami gizi buruk. Namun, tahun ini pihaknya lebih konsen di Kabupaten Penajam Paser Utara, karena di daerah tersebut banyak balita yang terkena gizi buruk.
“Tahun ini gizi buruk merata di kabupaten dan kota di Kaltim. Jadi tidak ada yang benar-benar dominan. Dinas Kesehatan fokus di Kabupaten Penajam Paser Utara itu bukan berarti daerah lain tidak ada gizi buruk, hanya saja ini tahapan penyelesaian masalah,” sebutnya.
Sementara di Samarinda, masalah gizi buruk mayoritas dialami masyarakat di Kecamatan Samarinda Seberang. Namun di kecamatan tersebut tidak ada satu pun bayi yang terkena gizi buruk.
“Tapi kekurangan gizi ini, jika dibiarkan akan meningkat jadi gizi buruk. Makanya masyarakat harus rutin ke posyandu, konsultasi dan memeriksa kesehatan anak. Dengan begitu, secara bertahap kekurangan gizi bisa diatasi,” tandasnya. (*/um/drh)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: