Guru Besar Unmul Samarinda: Sarosa Hamongpranoto
Kondisi hukum yang dianggap menguntungkan pihak penguasa membuat Sarosa Hamongpranoto muda resah. Hal ini lantas mendasarinya mengambil pendidikan ilmu hukum di bangku kuliah. Cita-citanya dalam mengembangkan ilmu hukum diwujudkan dalam peran selama empat dekade menjadi akademisi, hingga kini menyandang gelar profesor.
LUKMAN MAULANA, Samarinda
Saat memutuskan mengambil kuliah di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Sarosa menyadari ketidakadilan di bidang hukum di Indonesia. Menurutnya, hukum saat itu lebih berpihak pada penguasa ketimbang masyarakat. Karenanya dia pun serius mempelajari ilmu hukum hingga lulus sarjana di tahun 1972.
“Yang saya lihat, pihak penguasa seakan memberangus kebebasan berpendapat dari masyarakat. Dari aspek hukum itu jelas tidak benar,” tutur Sarosa saat ditemui Metro Samarinda (Bontang Post Group/Kaltim Post Group) di ruangannya, lantai II Gedung MPK Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda.
Sebagai sosok idealis, Sarosa berharap dapat memberikan peran dalam mengembangkan ilmu hukum di Indonesia. Namun sayang, keinginannya untuk bekerja di Departemen Kehakiman kala itu batal terwujud hanya karena dia terlambat mengetahui panggilan penerimaan calon hakim dari pusat. Karena saat informasi tersebut dikirimkan ke kampusnya di Semarang, dia sedang tidak berada di sana.
“Dulu kan masih mengandalkan pengiriman surat melalui pos. Sampai tiga kali panggilan calon hakim, saya selalu sedang tidak ada di tempat. Salah satunya sedang berada di kampung halaman di Sukoharjo. Ketika panggilan terakhir, saya sudah berada di Kaltim,” kenangnya.
Memang tak lama setelah lulus kuliah, Sarosa pindah ke Balikpapan. Di Kota Minyak, Sarosa sempat bekerja di salah satu perusahaan swasta. Di tahun 1973, dia mendapat tawaran menjadi dosen honorer mengajar ilmu Sosiatri di Unmul cabang Balikpapan. Tiga tahun kemudian di 1976, dia diangkat menjadi dosen tetap sekaligus ketua jurusan ilmu Sosiatri di universitas kenamaan Benua Etam tersebut.
Kemudian di tahun 1985, ketika Unmul cabang Balikpapan disatukan di Samarinda, Sarosa turut hijrah ke Kota Tepian. Di ibukota provinsi ini dia diangkat menjadi Pembantu Rektor III Unmul Samarinda yang dipegangnya hingga 1992. Dia lantas dipercaya menjadi Ketua Program Penyuluhan Bantuan Hukum LPPM Unmul yang dijabatnya selama setahun. Di tahun 1993, dia diangkat menjadi Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Unmul hingga 1997.
“Di tahun 1997 itu saya diangkat menjadi Dekan Fisipol Unmul yang kemudian berlangsung selama dua periode hingga 2003,” jelas Sarosa.
Saat menjadi Dekan Fisipol inilah dia menyadari tidak ada program studi (prodi) Ilmu Hukum di kampus hijau, julukan Unmul. Sementara dengan kondisi Kaltim kala itu yang menjadi salah satu daerah bisnis dan pertambangan, keberadaan Fakultas Hukum dirasakan perlu ada di ibukota provinsi. Karenanya Sarosa pun melapor ke rektor dan menyampaikan keinginannya untuk membuka prodi Ilmu Hukum.
“Kami buat proposal pembentukannya, untuk kemudian kami ajukan ke Dikti (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi),” kisahnya.
Namun perjuangan Sarosa dalam mewujudkan prodi Ilmu Hukum tidaklah mudah. Awal pengajuannya, pihak Dikti sempat memberikan penolakan. Alasannya waktu itu keberadaan prodi Ilmu hukum dinilai sudah jenuh. Penolakan ini bukan lantas membuat Sarosa patah arang. Dengan argumentasi yang dipaparkannya, keinginan memiliki prodi Ilmu Hukum pun akhirnya diluluskan.
“Argumentasi saya kala itu meliputi tiga konsentrasi yang dibuka dalam prodi ini yaitu Hukum Bisnis, Hukum Agraria, dan Hukum Lingkungan. Saya tekankan pentingnya keberadaan prodi ini bagi Kaltim dan tidak ada istilah jenuh dalam suatu disiplin ilmu,” terang pria kelahiran Bekonang yang Juni mendatang genap berusia 70 tahun ini.
Walaupun prodi Ilmu hukum akhirnya disetujui, namun masih menyisakan masalah tersendiri. Yaitu keberadaan prodi ini berada di bawah Fisipol. Sehingga jebolannya nanti bakal bertitel SSos. Menyadari hal ini bakal berdampak pada para alumnusnya, Sarosa lantas melanjutkan perjuangannya mendirikan Fakultas Hukum. Salah satu langkah yang dilakukannya yaitu menggandeng Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang.
“Akhirnya di sekitar tahun 2000, Fakultas Hukum di Unmul resmi berdiri dan mandiri. Bahkan sekarang sudah memiliki program Magister,” ungkapnya.
Melalui Fakultas Hukum ini, Sarosa berharap dapat mencetak mahasiswa-mahasiswa yang bisa mengimplementasikan ilmu hukum dalam menghadapi tantangan yang semakin besar ke depannya. Fakultas ini diharapkan dapat mencetak lulusan-lulusan yang memiliki daya saing dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan.
Perjalanan karier Sarosa sebagai akademisi Unmul pun berlanjut. Di tahun 2003, dia dipercaya menjadi Pembantu Rektor II. Tahun 2007, dia menjabat Ketua Program Magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum yang didirikannya. Hingga sejak 2012 dia menjadi Ketua Badan Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan Unmul yang dijabatnya hingga saat ini.
Meski banyak jabatan yang telah dipegangnya, namun Sarosa tetap menyebut dirinya sebagai seorang dosen. Baginya, seorang dosen janganlah menuntut jabatan. Karena seorang dosen memiliki tugas dalam mendidik, mengajar, dan melakukan penelitian sebagaimana dalam Tri Dharma. Menurutnya jabatan yang diberikan kepada seorang dosen hanya merupakan tugas tambahan.
“Terkadang teman-teman dosen lupa hal itu. Sehingga menganggap jabatan sebagai suatu hal yang mesti dikejar. Padahal sebagai dosen, mesti mengembangkan keilmuan lewat penelitian dan memberikan sumbangsih bagi kampus,” papar Sarosa.
Sebagai dosen, beberapa mata kuliah pernah dibawakan Sarosa. Di antaranya Sosiologi Hukum, Politik Hukum, serta Hukum dan Kebijakan Lingkungan. Kakek dari Anindayu Gendhis Nareswari ini berkisah, kecintaannya terhadap aktivitas mengajar sebenarnya dimulai jauh ketika dia masih duduk di bangku kuliah. Kala itu dalam kegiatannya sebagai aktivis kampus, dia sering memberikan pencerahan kepada adik-adik kelasnya.
“Saya dulu aktivis mahasiswa. Sering bergaul di kegiatan-kegiatan senat. Dalam kesempatan itu saya sering membagikan ilmu kepada teman-teman mahasiswa lainnya,” urainya.
Kini sebagai Ketua Badan Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan, kegiatan Sarosa meliputi pembuatan naskah akademik untuk rancangan peraturan daerah (Raperda), baik dari pihak pemerintah maupun DPRD. Dia bersama tim beberapa kali membuat naskah akademik untuk DPRD di daerah-daerah Kaltim, di antaranya DPRD Provinsi Kaltim, DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara, dan juga DPRD Mahakam Ulu.
Ditanya tentang kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini, Sarosa menyebut masih belum baik. Khususnya di wilayah Kaltim sebagai daerah terbuka yang banyak didatangi para pencari kerja. Banyaknya masalah sosial menimbulkan kejahatan yang perlu penindakan tegas oleh aparat hukum. Dalam hal ini perlindungan hukum harus tetap diutamakan bagaimanapun.
“Harapan saya para penegak hukum bisa konsisten dan juga konsekuen dalam menegakkan hukum di Indonesia. Sekaligus menjadi pendidikan hukum bagi masyarakat. Tindakan harus tegas, hukum harus tegas, hukum harus ditegakkan,” beber Sarosa.
Menurutnya, penegakan hukum di suatu daerah dapat dilihat dari bagaimana lalu lintas daerah tersebut. Bila pelanggaran lalu lintas saja masih tinggi, maka bisa disimpulkan penegakan hukum di daerah tersebut masih kurang. “Di sinilah tugas para penegak hukum untuk terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat,” pungkas pria yang berprinsip pantang menunda pekerjaan ini. (***)
Nama: Prof H Sarosa Hamongpranoto SH MHum
TTL: Bekonang, 1 Juni 1947
Istri: Dra Hj Martuti MM
Anak: Ayu Fetriana Rosati SH M Kn
Cucu: Anindayu Gendhis Nareswari
Pendidikan:
- Sekolah Rakyat Tawangmangu (lulus 1959)
- SMP Surakarta (lulus 1962)
- SMA Surakarta (lulus 1966)
- S1 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang (lulus 1972)
- Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (1995)
- S2 Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada Jogyakarta (lulus 2000)
Alamat: Jalan Pramuka 19 Nomor 52 Samarinda
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post