SANGATTA – Perbuatan Najib alias Cabang (56) yang tega merusak masa depan Bunga (15) akhirnya mendapatkan hukuman setimpal. Warga RT 3 Desa Suka Rahmat itu divonis bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Sangatta yang diketuai Tornado Edmawan dan hakim Anggota Andreas Pungky Maradona serta Nurahmat, pekan lalu.
Kini, pria yang mengaku memiliki kelebihan sebagai paranormal atau dukun itu harus menjalani hukuman pidana penjara 12 tahun dan denda Rp 200 juta subsidaer 3 bulan kurungan penjara.
“Sidangnya sudah diputus pekan lalu. Atas putusan itu, terpidana menerimanya dan langsung kami eksekusi ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Bontang,” ucap Kajari Kutim Mulyadi didampingi Kasi Pidum Amanda.
Kasus ini, beber dia, berawal saat korban datang dengan tujuan bermain ke kediaman pelaku. Kebetulan, korban merupakan teman dekat dari anak pelaku. Melihat korban, pelaku pun timbul hasrat untuk menyetubuhi korban. Berbagai bujuk rayu dan tipu muslihat pun dilakukan pelaku terhadap korban. Termasuk menyebut jika korban memiliki keistimewaan berupa urat ‘nabi’.
“Pelaku ini menurut warga sekitar memang dikenal punya kelebihan atau bisa dikatakan semacam dukun. Nah, dengan modal ini, kemudian pelaku terus membujuk korban,” jelasnya.
Sampai suatu ketika, korban dipanggil pelaku untuk datang ke pondok kebun yang berada di Teluk Pandan. Saat itu, pelaku mengatakan, jika ingin hidup nyaman dan tenang, maka urat ‘nabi’ itu harus diaktifkan. Namun syaratnya, korban harus mau bersetubuh dengan pelaku.
“Awalnya korban tidak mau. Tapi, karena terus dibujuk, akhirnya pada Agustus 2015, korban pun menuruti keinginan pelaku,” kata Amanda.
Setelah berhasil memperdayai korban, perbuatan bejat itu terus dilakukan berkelanjutan oleh pelaku hingga Oktober 2016. Bahkan dari keterangan saksi korban dalam persidangan, dalam sepekan pelaku minta dilayani antara dua hingga tiga kali. Jika menolak, pelaku langsung mengancam bahwa kemaluan korban akan busuk dan rumah tangga keluarganya akan hancur.
“Yah namanya anak-anak kalau diancam seperti itu pasti takut. Makanya terus menuruti keinginan pelaku. Tapi, karena bosan, akhirnya korban memilih kabur dari rumah pada Oktober 2016 lalu ke Samarinda dengan rekannya. Dari situlah keluarga curiga dan mencari tahu kemana korban pergi,” sebutnya.
Lantas, setelah beberapa hari kabur dari rumah, korban pun menghubungi orangtuanya. Korban pun menceritakan kalau sedang berada di Samarinda bersama teman tanpa menyebutkan alasan mengapa kabur dari rumah. Setelah didesak, korban akhirnya minta dijemput keluarganya. Saat itulah korban kemudian menceritalan seluruh kejadian yang dialaminya selama rentan waktu satu tahun tersebut. Merasa tak terima dengan perbuatan pelaku, orang tua korban pun langsung melapor ke polisi, hingga akhirnya kasus ini diproses di meja hijau.
“Dalam kasus ini sebenarnya ada dua dakwaan yang kami jerat terhadap pelaku. Namun, setelah mendengarkan keterangan saksi yang terbukti adalah Dakwaan ke 1 Pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.
Dan pada saat tuntutan, kami ajukan agar hakim menghukum pelaku dengan pidana penjara 14 tahun, karena pertimbangannya, perbuatan itu dilakukan berkelanjutan, pelaku berbelit-belit selama sidang, menimbulkan trauma bagi korban dan keresahan masyarakat, serta merusak masa depan korban,” tutupnya. (aj)