SAMARINDA-Pemerintah pusat menetapkan peningkatan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 8,03 persen pada 2019. Kebijakan tersebut mengundang respons beragam di kalangan buruh, pengamat, praktisi, dan pemerintah daerah. Ada yang pro terhadap kenaikan itu. Namun tak sedikit yang meminta kenaikan upah yang lebih tinggi dari kebijakan pemerintahan Joko Widodo itu.
Anggota Komisi IV DPRD Kaltim, Abdurahman Alhasni mengatakan, kenaikan gaji buruh sebesar 8,03 persen tahun depan belum cukup untuk memenuhi kehidupan layak para buruh yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia.
“Paling kenaikan itu kan hanya Rp 300 ribu saja kalau dihitung dengan UMP Kaltim. Artinya kalau kenaikannya segitu, baru Rp 3 juta saja gaji buruh di Kaltim,” ucapnya pada Metro Samarinda, Ahad (21/10) kemarin.
Dia beralasan, kehidupan layak di Kaltim tidak akan cukup untuk dipenuhi dengan pendapatan buruh senilai Rp 3 juta. Terlebih setiap tahun, harga kebutuhan pokok kian meningkat.
“Coba saja itu benar-benar dihitung dengan kehidupan layak di Kaltim. Enggak akan sampai gaji segitu. Kasihan buruh kita,” katanya.
Alhasni menyarankan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi membuat formulasi yang berbeda untuk peningkatan gaji buruh. Pasalnya, setiap daerah memiliki beban kebutuhan hidup yang tidak sama.
“Kaltim dengan daerah lain itu berbeda. Coba dibandingkan biaya hidup di Kaltim dan Sulawesi Selatan atau Nusa Tenggara. Pasti lebih tinggi di Kaltim. Jadi kenaikan gaji buruh itu tidak bisa disamakan,” sarannya.
Politisi Partai Golongan Karya (Golkar) itu meminta Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kaltim membuat kebijakan yang dapat menjawab tuntutan hidup layak buruh.
“Enggak harus sama kebijakan pusat dan daerah. Kenaikan UMP Kaltim harus lebih tinggi dari itu. Disnakertrans harus mengkaji ulang. Kumpulkan pihak-pihak terkait. Khususnya organisasi-organisasi buruh,” imbuhnya.
Kata dia, kenaikan gaji buruh tidak boleh dijadikan beban bagi perusahaan. Pihak perusahaan mesti tunduk pada kebijakan pemerintah. Apabila perusahaan tidak mengindahkan kebijakan tersebut, maka Disnakertrans mesti memberikan sanksi.
“Iya, Disnakertrans harus tegas pada perusahaan. Siapa saja yang tidak melaksanakan kebijakan itu, dalam artian tetap pada UMP yang lama, maka harus diberikan sanksi,” tegasnya.
Senada, Ketua Serikat Buruh Borneo Indonesia (SBBI) Kaltim, Nason Nadeak mengatakan, penetapan peningkatan gaji buruh yang dilakukan pemerintah pusat belum memperhatikan kebutuhan setiap pekerja di Indonesia.
“Penetapan UMP itu seharusnya berdasarkan hasil survei. Pemerintah membentuk tim yang menyurvei harga-harga di kabupaten/kota. Dasar patokannya untuk satu orang karyawan bujangan. Jadi enggak pakai rumus. Setelah survei itu, maka sampailah pada kebutuhan layak buruh,” terangnya.
Dari hasil survei tersebut, kemudian pemerintah menetapkan UMP sesuai kebutuhan layak buruh. Apabila perusahaan tidak mampu memenuhinya, pihak manajemen dapat mengajukan keberatan pada Disnakertrans provinsi atau kabupaten/kota.
“Lalu nanti Disnakertrans melihat kemampuan perusahaan. Jadi enggak mesti juga sesuai dengan ketetapan pemerintah. Tetapi perusahaan harus terbukti benar-benar tidak mampu dengan UMP yang ditetapkan pemerintah,” katanya. (*/um)
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Saksikan video menarik berikut ini:
Komentar Anda