Menurut Jatam, 73 persen daratan Kaltim telah dikaveling untuk kepentingan industri ekstraktif. Kawasan itu merupakan sumber air, kawasan perbukitan, rawa, sungai, hingga hutan.
bontangpost.id – Galian bekas tambang batu bara yang menimbulkan lubang jadi persoalan serius di tengah rencana pemindahan ibu kota negara ke Kaltim. Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), terdapat 109 lubang tambang di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara (PPU), hingga Kecamatan Samboja dan Muara Jawa, Kutai Kartanegara (Kukar). Kecamatan Sepaku dan Samboja merupakan kawasan inti pusat pemerintahan IKN baru.
Berkaca yang terjadi di Samarinda, lubang tambang memicu bencana banjir ketika hujan turun. Persoalan ini berlangsung bertahun-tahun namun belum terlihat tanda-tanda bisa diatasi sampai saat ini. Akademisi pun mempertanyakan komitmen pemerintah pusat dalam menangani lubang tambang saat ibu kota negara dipindah ke Kaltim.
“Bagaimana penanganannya ke depan? Jangan sampai tambang ini memunculkan masalah baru,” tutur Dekan Fakultas Syariah IAIN Samarinda Bambang Iswanto, dalam seminar nasional “Wawasan Kebangsaan dan Pengembangan Daerah Menyambut IKN”, belum lama ini.
Bambang mengungkapkan, lumrah ditemui, lubang bekas tambang banyak ditinggalkan menganga oleh para pengusaha tambang. Sehingga menimbulkan masalah lingkungan. Salah satunya, banjir. Dia berharap, perhatian pemerintah tak hanya lubang tambang di kawasan IKN. Tetapi mencakup daerah lainnya di Kaltim.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimoeljono yang hadir secara virtual menanggapi pembahasan itu, Menurut dia, bicara banjir Samarinda, bukan karena luapan sungai. Akan tetapi, sepengetahuannya disebabkan drainase yang tidak ditata dengan baik.
Kesimpulan itu disampaikan Basuki berdasarkan laporan yang diterima dari Balai Wilayah Sungai Kalimantan IV Samarinda saat banjir menggenangi Bandara APT Pranoto Samarinda, termasuk beberapa lokasi di Balikpapan. “Sekarang kami lagi desain, untuk bisa mengendalikan banjir di sana,” jawabnya.
Basuki melanjutkan, permasalahan tambang di Kaltim justru akan lebih fokus diawasi dengan adanya IKN. Termasuk permasalahan lubang tambang yang juga berada di wilayah Tahura Bukit Soeharto, Samboja, yang masuk kawasan perluasan IKN.
Dalam perencanaan pembangunan IKN baru, kawasan itu akan direhabilitasi dengan mengembalikan fungsi kawasan hutan. “Kalau dengan adanya IKN di sana, pasti akan menjadi pengawasan kita bersama. Untuk bisa mengendalikan tambang tersebut,” terang Basuki.
Rencana pembangunan calon IKN baru yang hijau berbasis lingkungan turut menuai kritik Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim. Kabupaten/kota lainnya di Kaltim dinilai masih jauh dari konsep hijau dan lestari.
Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang menilai, untuk melestarikan dan menghijaukan wilayah krisis, bukan saat di wilayah tersebut akan hadir megaproyek. Seperti rencana pembangunan IKN baru.
Megaproyek tersebut, lanjut dia, bukan kebutuhan utama rakyat Kaltim. Juga rakyat Indonesia secara umumnya. Krisis yang dihadapi rakyat Kaltim, kata Rupang, jauh lebih besar. Dari sekadar membangun gedung-gedung baru, serta memolesnya dengan pepohonan hijau di atas lahan sekitar 42 ribu hektare.
”Jadi megaproyek ini, demi apa dan buat siapa? Karena luas wilayah kritis di Kaltim, jauh lebih besar daripada hanya angka tersebut,” kritiknya.
Dia menjabarkan, sebesar 73 persen luas daratan Kaltim atau 9,3 juta hektare telah dikaveling untuk kepentingan industri ekstraktif. Kawasan yang telah dikaveling itu adalah hutan, mata air, sungai, rawa, dan bukit. Jumlah tersebut adalah luas konsesi yang tidak tumpang tindih yang diterbitkan pemerintah.
“Jika termasuk tumpang tindih dengan konsesi lainnya maka akan melebihi luas daratan Kaltim,” katanya.
Yang terjadi di Samarinda, sebut Rupang, hingga kini daerah itu belum memiliki hutan lindung, layaknya Balikpapan. Ruang terbuka hijau di Samarinda pun tidak mencapai satu persen dari luas kotanya. Sementara kasus bencana di Kaltim sebesar 60 persen adalah banjir.
“Mengapa itu tidak menjadi prioritas untuk dipulihkan? Daripada membicarakan IKN yang hijau. Sementara kota dan kabupaten lainnya yang ada di Kaltim, masih jauh dari kata ‘hijau dan lestari’,” ujar Rupang.
Persoalan lainnya, konsep pemulihan yang akan dipulihkan bukanlah situs-situs ekonomi dan ruang hidup rakyat. Dia menyampaikan, seharusnya pemulihan dilakukan di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Yang rusak karena kegiatan pertambangan.
Di antaranya, di Desa Mulawarman, Desa Manunggal Jaya, dan Kertabuana di Kecamatan Tenggarong Seberang. Lalu Kelurahan Makroman, Kelurahan Jawa, dan Kelurahan Sangasanga Dalam di Kecamatan Sangasanga. Juga, Desa Jembayan, Desa Santan, di Kecamatan Marangkayu.
Di Kabupaten Kutai Barat, juga ada Kampung Muara Tae di Kubar. Kemudian, Desa Batu Kajang dan Desa Songkak di Kabupaten Paser, Kampung Merasa di Berau juga Desa Keraitan di Kecamatan Bengalon, Kabupaten Kutai Timur.
“Mengapa bukan lokasi-lokasi ini yang dipulihkan? Jadi Jatam menduga, jika lokasi-lokasi krisis ini yang dipulihkan, aliran dana ke kantong-kantong para politikus juga akan berhenti,” tudingnya.
Dengan demikian, konsep penghijauan yang direncanakan pada IKN baru nanti, tidak murni untuk kepentingan rakyat. Namun, akan lebih dinikmati oleh segelintir elite politikus pusat. “Apakah penghijauan itu tulus demi rakyat? Jika iya, harusnya keselamatan rakyat lebih utama diurus. Daripada mengurus menara gading (IKN). Yang hanya dinikmati oleh segelintir elite politikus dan kroni oligarki ekstraktif di Indonesia,” tutup Rupang. (kip/riz/k8)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post