SAMARINDA – Pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa penetapan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) telah membawa sengketa berkepanjangan antara Rusna Romeo dan hotel Mesra. Senin (15/10) lalu, silang sengkarut kasus tersebut menuai titik akhir di PHI Samarinda.
Kuasa hukum ahli waris Rusna Romeo, Nason Nadeak mengungkapkan, almarhumah bekerja di hotel yang berlokasi di Jalan Bhayangkara Samarinda itu sejak 1991. Pada 30 Februari 2016, perempuan yang meninggal tahun lalu itu dihentikan dari pekerjaannya.
Penyebabnya, bawahan Rusna di bagian finansial hotel Mesra melakukan mark-up anggaran. Lalu pimpinan perusahaan membebankan tanggung jawab tersebut pada Rusna.
Pihak hotel beralasan, kesalahan bawahan harus dibebankan pada pimpinan. Karenanya, manajemen menghentikan Rusna dari pekerjaannya. Langkah tersebut diambil tanpa disertai penetapan PHI.
“Sempat dilakukan mediasi di Disnakertrans (Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Red.). Setelah dimediasi, keluarlah anjuran. Perusahaan menolak anjuran itu,” ungkap Nason, Selasa (16/10) kemarin.
Disnakertrans Kaltim menganjurkan pimpinan hotel Mesra membayar pesangon kepada Rusna senilai Rp 49 juta. Ketika perempuan itu meninggal pada 5 November 2017, pesangon yang dianjurkan Disnakertrans tak kunjung dibayar.
“Lalu kami ajukan gugatan pada 5 September 2017. Sidang pertama sudah mengarah pada perdamaian. Berikutnya dibuat draf. Kemudian di sidang ketiga, majelis membuat penetapan damai,” ujarnya.
Dalam gugatan itu, Nason meminta pimpinan hotel membayar pesangon, uang ganti perumahan, dan beban lainnya senilai Rp 133 juta. Jumlah tersebut didasarkan pada beban kerja sejak perempuan dua anak itu bekerja hingga meninggal dunia pada akhir 2017.
Hitungan masa kerja sampai meninggal dunia tersebut muncul karena PHK dilakukan tanpa penetapan PHI. Dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, perusahaan tidak diperbolehkan melakukan PHK tanpa disertai penetapan di PHI.
“Pengadilan menetapkan, pihak hotel Mesra harus membayar senilai Rp 90 juta. Beban itu harus dibayar tiga kali secara bertahap. Artinya setiap kali pembayaran itu Rp 30 juta,” bebernya.
Pembayaran tahap pertama dilakukan seminggu setelah kesepakatan di PHI ditandatangani pengadilan, penggugat, dan tergugat. Kemudian angsuran tahap kedua diberikan sebulan setelah pembayaran pertama.
“Sedangkan pembayaran tahap ketiga dilakukan dua minggu setelah tahap kedua dibayar. Itu yang sudah disepakati di pengadilan. Uang itu semuanya diberikan pada suami dan ahli waris ibu Rusna,” sebutnya.
Kata Nason, kasus yang berakhir di PHI tersebut menambah daftar PHK tanpa disertai penetapan di pengadilan. Pada umumnya, perusahaan melakukan pemutusan kerja tanpa melewati tahapan tersebut.
“Karena itu, dari kasus ini, harusnya sudah mulai dipikirkan agar ada sanksi yang diberikan pada perusahaan yang melakukan PHK tanpa penetapan PHI. Inilah pentingnya perda tentang PHK. Karena di undang-undang itu belum dijelaskan secara detail sanksi untuk perusahaan,” imbuhnya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post