SAMARINDA – Malang benar nasib ratusan warga yang menempati tanah di RT 29 Kelurahan Lok Bahu, Kecamatan Sungai Kunjang, Samarinda. Sudah puluhan tahun menempati tanah dan mendirikan bangunan, kini dipersoalkan ahli waris pemilik tanah.
Ahli waris yang diketuai Aspian Noor dan Solihin juga telah melaporkan warga pada Kepolisian Resort (Polres) Samarinda. Tuduhannya, warga dianggap telah melakukan penyerobotan lahan, pemalsuan tanda tangan saksi batas, dan pengrusakan pondok.
Karena itu, warga setempat pada Rabu (29/3) lalu berbondong-bondong mendatangi kantor camat Sungai Kunjang. Mereka meminta kejelasan atas kepemilikan tanah yang sudah bertahun-tahun mereka tempati.
Kuasa warga, Suryati Ningsih menuturkan, sengketa kepemilikan tanah tersebut harusnya tidak merisaukan warga selaku pemegang sertifikat dan surat kepemilikan tanah. Namun karena sudah dilaporkan pada kepolisian, akibatnya pemegang surat tanah tidak dapat mengurus surat-menyurat kepemilikannya pada pemerintah.
“Penghentian sementara pengurusan surat tanah itu atas instruksi kepolisian. Selama sengketa ini masih berlanjut, pemegang surat tanah tidak boleh mengurus surat kepemilikan lahan,” ungkap Ningsih.
Kata dia, pihaknya akan mendatangi Polres Samarinda. Tujuannya agar kepolisian segera menyelesaikan masalah tersebut. “Kami minta proses surat menyurat kepemilikan tanah tetap berjalan. Apapun yang diinginkan warga sebagai pemilik tanah, tidak boleh dihalangi,” tegasnya.
Penyidik Polres Samarinda, Ridwan mengungkapkan, puluhan hektare lahan yang disengketakan awalnya milik almarhum Haji Khalid. Sepeninggal Haji Khalid, pengelolaan tanah diserahkan pada menantunya yang bernama Abdul Gani.
“Sesuai Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saya, lahan di sana dikelola Abdul Gani. Karena Haji Khalid meninggal pada 1975, Abdul Gani tidak mengetahui jika Haji Khalid memiliki surat penguasaan tanah di situ,” ungkapnya.
Karena merasa sebagai pengelola lahan, Abdul Gani membuat Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) pada kantor Kecamatan Sungai Kunjang atas lahan yang dikelolanya. Merasa sebagai pemegang legalitas tanah, Abdul Gani menjualnya pada warga.
“Haji Khalid tidak hanya memiliki satu orang anak, tetapi ada empat orang. Salah satunya istri Abdul Gani. Tetapi tiga orang lainnya mengaku tak menerima hak waris dari tanah itu. Mereka melaporkan Abdul Gani karena dianggap melakukan penyerobotan lahan,” ucapnya.
Pada 2006 lalu, kala Abdul Gani masih hidup, sengketa tanah dilaporkan pada kepolisian. Ridwan mengaku pernah memanggil almarhum, bahkan dibuatkan BAP. Dalam keterangannya, Abdul Gani sudah memegang SPPT yang diterbitkan pihak kecamatan.
“Kalau dilihat di pasal penyerobotan lahan, laporan tentang penyerobotan lahan itu tidak terpenuhi. Kenapa? Bagaimana mungkin disebut penyerobotan lahan, sementara yang bersangkutan memegang surat tanah?” tanyanya.
Saat kasus tersebut masih terus bergulir proses penyidikannya, Abdul Gani meninggal dunia. Ridwan menegaskan, meski sudah meninggal dunia, laporan tindak pidana penyerobotan lahan yang dialamatkan pada Abdul Gani belum dihentikan.
“Karena saya belum menemukan unsur pidananya, otomatis saya kembalikan pada kelurahan. Itu bukan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), tetapi hanya menyebutkan agar kelurahan mengambil langkah-langkah berikutnya,” bebernya.
“Yang dilaporkan sudah meninggal, siapa yang diproses? Karena tidak boleh penyidik menghalangi pemerintahan membuat surat tanah, langkah berikutnya saya serahkan pada kelurahan,” sambung Ridwan.
Tak berhenti sampai di situ, proses jual beli tanah yang dilakukan keluarga Abdul Gani masih terus berlanjut. Maka cucu dan cicit Haji Khalid melaporkan Abdul Gani karena dianggap melakukan pemalsuan surat tanah.
Tapi pelaporan tersebut memiliki titik kelemahan dan tak memenuhi unsur hukum. Pasalnya Abdul Gani sudah meninggal dunia. Dalam undang-undang pidana, pelapor tidak boleh melaporkan orang yang sudah meninggal dunia.
“Harusnya keluarga Haji Khalid melaporkan pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN). Silahkan diproses di sana bagaimana keabsahan kepemilikan tanah. Tapi tentang pemalsuan, boleh saja dilaporkan pada kepolisian,” katanya.
Ia menyebut, selaku pemegang surat tanah, warga tak perlu khawatir. Pasalnya warga telah memegang SPPT dan sertifikat tanah. Maka warga dianggap memiliki kekuatan hukum untuk mempertahankan hak kepemilikan tanah. Hal itu diperkuat dengan legalitas tanah yang dikeluarkan kecamatan.
“Kalau nanti dilaporkan di PTUN kemudian pengadilan memenangkan ahli waris yang melaporkan pemalsuan surat tanah, maka putusan itu tidak dialamatkan pada warga, tetapi pada pihak kecamatan yang telah mengeluarkan surat kepemilikan lahan,” tutupnya.
Camat Sungai Kunjang Samarinda, Samlian Noor menambahkan, ratusan warga tersebut tak perlu khawatir dengan laporan ahli waris Haji Khalid. Pasalnya, laporan itu terkesan dibuat-buat.
“Namanya pidana ini ada tersangkanya. Tersangkanya siapa? Sampai sekarang kami bingung, siapa yang menyerobot lahan. Soal pengrusakan pondok, siapa yang merusak. Kalau penyerobotan lahan, warga sudah punya surat tanah. Sedangkan pengrusakan pondok sudah dijelaskan RT, mereka tidak tahu siapa yang merusaknya,” tegas Samlian.
Berikutnya, terkait laporan pemalsuan tanda tangan saksi batas, dia bingung siapa yang dilaporkan. “Siapa yang mau dijadikan tersangka? Abdul Gani itu sudah meninggal dunia,” tegasnya. Sayangnya, baik Aspian Noor maupun Solihin selaku ketua ahli waris tidak hadir dalam pertemuan Rabu kemarin. (*/um)
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Saksikan video menarik berikut ini: