bontangpost.id – Penerimaan negara dari sektor tambang batu bara berpotensi menurun tahun depan. Potensi itu mengemuka dari kebijakan pemberian royalti nol persen untuk pelaku usaha yang melakukan hilirisasi. Kaltim yang selama ini mengandalkan belanja daerah dari dana bagi hasil (DBH), terancam kehilangan pendapatan hingga Rp 9 triliun.
Menurut Gubernur Kaltim Isran Noor, akan ada skema baru DBH yang akan ditransfer pusat ke daerah. Seiring berlakunya Omnibus Law Cipta Kerja. “Sistemnya kan berbeda. Dulu royalti. Nanti kan perizinan kewenangan dan statusnya beda. Kalau status lama kan seolah hilang. Tapi nanti akan ada kebijakan lain yang menyubstitusi,” jelas Isran, (21/10). Dia pun memaklumi jika kelompok masyarakat masih terus melakukan demonstrasi menyoal Omnibus Law Cipta Kerja.
Mantan bupati Kutai Timur itu melanjutkan, pemerintah daerah berupaya untuk mengatrol DBH. Namun, tidak sekarang. Dalam waktu dekat, tugas pihaknya yang tidak kalah vital adalah meminta kepastian pusat terkait pengurangan nilai transfer APBD 2021. Nilainya lebih Rp 864 miliar. Dikatakan, ada penyesuaian DBH dari yang semula sebesar Rp 2,9 triliun menjadi hanya sekitar Rp 2 triliun. “Sampai sekarang, 62 persen batu bara nasional kontribusinya di Kaltim. Kita setia dan tidak menuntut aneh-aneh. Walaupun tidak dipuaskan, kita enggak macam-macam. Kalau enggak puas kita lakukan tindakan konstitusional,” ucapnya.
Gubernur lalu mengajak semua pihak mengingat kejadian pada 2010. Ketika Kaltim minta jadi daerah otonomi khusus agar lebih diperhatikan. Meskipun berakhir penolakan. Dia menambahkan, walau pembangunan di Kaltim tertinggal dibandingkan daerah lain di Jawa, tetapi Kaltim menyumbangkan 8 persen produk domestik bruto (PDB) nasional dari Kaltim. “SDA (sumber daya alam) kita tertinggi. Tetapi, masih lumayan nih walaupun musim Covid-19. Yang surplus perdagangan luar negeri, hanya kita surplus 5,2 miliar dolar. Walaupun batu bara turun, kita surplus,” kata Isran.
Sebelumnya, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Nasional (Jatamnas) Merah Johansyah mengatakan, selain masyarakat yang dirugikan karena tidak lagi memiliki hak untuk menolak pertambangan di lingkungannya, pemerintah daerah juga terkena imbas Omnibus Law Cipta Kerja. Pasalnya, urusan izin semua sudah ditarik oleh pemerintah pusat. Bahkan di salah satu ayat, yaitu 128 A menyebutkan jika perusahaan tambang yang mengusahakan hilirisasi pertambangan atau peningkatan nilai dari pertambangan tersebut, akan dimudahkan dengan pembayaran insentif royalti hingga 0 persen.
Artinya, sambung dia, perusahaan tambang tersebut bisa tidak membayar royalti. Jika begini, hal tersebut akan berimbas pada pendapatan negara dari sektor pertambangan. Dan hal ini akan berdampak pada dana bagi hasil (DBH) yang diberikan pusat kepada daerah. Kaltim pun akan sangat terdampak. Mengingat, DBH provinsi ini cukup tinggi. Normalnya, disebut Merah, Provinsi Kalimantan Timur bisa mendapat hingga Rp 9 triliun dari DBH.
Sementara itu, demo penolakan Omnibus Law Cipta Kerja belum juga mereda. Kemarin, demonstran unjuk rasa di Kegubernuran Kaltim. Demonstran ditemui Wakil Gubernur Kaltim Hadi Mulyadi. Politikus Gelora itu menyampaikan jika sudah mempersiapkan draft surat untuk menyampaikan aspirasi para pedemo yang tergabung dalam Aliansi Mahakam.
“Sepenuhnya akan kami terima, dan kami sampaikan ke pusat. Peluang berubah itu bisa kita lakukan. Asalkan berpikir konstruktif. Kita akan sampaikan tuntutan tanpa dikurangi,” jelas Hadi di hadapan para pedemo. Sementara itu, perwakilan Aliansi Mahakam M Akbar mengatakan, pihaknya mengapresiasi sikap wakil gubernur yang mendukung gerakan para mahasiswa. Namun, menyesalkan sikap Pemprov Kaltim maupun DPRD yang tidak terang menolak Omnibus Law. Konsolidasi pun akan terus mereka lakukan sampai tuntutan mereka terpenuhi. (nyc/riz/k8/kpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post