bontangpost.id – Tak hanya berkeluh kesah ke DPR RI, Gubernur Kaltim Isran Noor diminta beraksi lebih. Sebab, pertambangan ilegal dan kerusakan alam dan infrastruktur yang ditimbulkan di Kaltim sudah menahun. Bukan tiba-tiba muncul ketika Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara disahkan pemerintah.
Dinamisator Jaringan Advokasi Pertambangan (Jatam) Kaltim Pradarma Rupang mengatakan, tanpa ditarik kewenangan pusat, sebenarnya tambang ilegal sudah marak di Kaltim. Namun, semakin menjadi-jadi saat pandemi. Lanjut dia, tambang ilegal tidak dibuat aturan khusus karena tidak ada ruangnya. “Tanpa izin ya illegal mining. Kalau yang diatur kan yang berizin,” kata Pradarma. Menurut dia, Jatam tidak melihat kesungguhan dari pernyataan Gubernur Kaltim Isran Noor ketika menghadiri rapat dengar pendapat Komisi VII DPR RI dengan Dirjen Minerba Kementerian ESDM di Gedung Nusantara I Lantai I, Senin (11/4).
Seumpama Kaltim dirugikan dari UU 3/2020, Pradarma mempertanyakan mengapa Pemprov Kaltim tidak menggugat kebijakan itu. Kenapa justru masyarakat sipil yang menggugat. “Pernyataan (gubernur) memang saya lihat paradoks, tidak konsisten. Hal sesuatu yang tak ditetapkan, berarti ada payung hukum lainnya yang melekat. Kalau mau gugat, maka gugat juga Undang-Undang Cipta Kerja. Karena Cipta Kerja mendistorsi Pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup,” jelasnya.
Dalam undang-undang sebelumnya, mesti ada izin lingkungan. Namun, di UU Cipta Kerja, setiap aktivitas pertambangan tidak perlu izin lingkungan, tetapi persetujuan lingkungan. “Ini yang bisa digunakan pelaku peti (pertambangan tanpa izin/ilegal). Kalau mau gugat, gugat saja UU Ciptaker. Karena meringankan sanksi pelanggar,” sambung lelaki asal Balikpapan itu. Dia berharap, gubernur juga terbuka perihal jumlah aduan tambang ilegal ke kepolisian. Menurut dia, upaya itu harus dilaporkan pemprov ke publik di website.
Dengan demikian, publik yakin jika Pemprov Kaltim benar-benar melawan pertambangan ilegal. Tak sekadar berkeluh kesah tanpa aksi nyata. Jatam Kaltim mencatat temuan 151 tambang ilegal. Perlu keseriusan Pemprov Kaltim untuk menindak. Sebab, UU Minerba yang baru, bukanlah satu-satunya biang kerok pertambangan ilegal. Apalagi Kaltim sebenarnya juga memiliki bekal untuk menindak. Melalui Perda Nomor 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Jalan Umum dan Jalan Khusus Untuk Kegiatan Pengangkutan Batu Bara dan Kelapa Sawit.
Tetapi, sayangnya sejauh ini masih banyak kendaraan tambang yang melenggang di jalan umum. “Berhenti merengek ke pusat. Ada Perda 8 Tahun 2013 soal reklamasi yang mempersempit ruang pengerusakan lingkungan. Nah, jika tidak ada aktivitas reklamasi, dipastikan itu adalah peti. Tinggal inspektur tambang verifikasi tambang. Kalau misal alasannya Inspektur tambang hanya bisa memverifikasi tambang-tambang legal maka di sini tugasnya aparat hukum. Jadi menarik inspektur tambang untuk menjadi saksi bahwa lokasi ini ada izin apa enggak,” bebernya.
Pradarma melanjutkan, Pemprov Kaltim bisa bergerak mencegah tambang ilegal sesuai dengan peraturan yang sudah ada. Dia juga mengkritik parlemen yang tidak pernah minta pertanggungjawaban gubernur soal implementasi Perda 8 Tahun 2013.
Sebelumnya, masalah pertambangan ilegal di Kaltim ditumpahkan Gubernur Isran Noor di Komisi VII DPR RI di Jakarta, dua hari lalu.
“Kemajuan tambang ilegal setelah UU Nomor 3 Tahun 2020 ini sangat luar biasa. Belum ada izin saja sudah ditambang. Pertanyaan saya, kenapa UU ini dibuat?” kata gubernur yang hadir mengenakan batik cokelat. Gubernur melanjutkan, dengan aturan baru ini, wibawa negara hilang. “Wibawa negara sudah tidak ada. Sedikit saja sisanya,” keluh Isran. Mantan bupati Kutai Timur (Kutim) itu melanjutkan, menjamurnya tambang ilegal di Kaltim, karena semua kewenangan perizinan pertambangan ditarik ke pusat. Bahkan untuk pengawasan pun, daerah tidak mendapat ruang.
“Saat ada perubahan UU 23 Tahun 2014, masih lumayan karena provinsi masih memiliki porsi pengawasan. Tapi setelah UU ini (UU Nomor 3 Tahun 2020), semuanya selesai,” ucapnya. Semestinya, lanjut dia, pengawasan harus terintegrasi. Provinsi diberi kewenangan mulai perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan.
Menurut dia, kepala daerah meminta peran pengawasan dikembalikan ke daerah. Karena selama ini, pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak dengan praktik tambang ilegal. “Maraknya tambang ilegal telah menyebabkan rusaknya lingkungan dan infrastruktur. Dana bagi hasil yang kembali ke daerah pun tidak cukup untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan itu. Hampir semua jalan negara, provinsi dan kabupaten kota rusak. Kurang lebih seperti ombak lautan Pasifik,” ungkapnya. (riz/k8)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post