JAKARTA – Persiapan Pemilu 2019 lalu yang serba mendadak membuat pemerintah melakukan evaluasi. Sejumlah aturan terbukti tidak bisa diimplementasikan dengan maksimal di lapangan. Agar lebih maksimal pada Pemilu 2024 mendatang, revisi undang-undang Pemilu yang menjadi basis aturan penyelenggaraan akan dimulai jauh-jauh hari.
Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan, pemerintah sepakat untuk memulai revisi UU Pemilu lebih cepat. Pihaknya akan mengusulkan agar pembahasannya masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) di tahun 2020. “Awal tahun 2022 diharapkan sudah selesai,” ujarnya usai rapat terbatas tentang program politik hukum dan keamanan di Istana Kepresidenan, Jakarta, (31/10).
Dengan selesai di awal tahun 2022, kata Mahfud, KPU sebagai penyelenggara memiliki kesempatan lebih luas untuk menyiapkan aturan teknisnya. Berbeda dengan pemilu 2019 lalu yang UU-nya baru selesai di akhir tahun 2017.
Selain itu, dengan selesai lebih awal, kesempatan untuk melakukan uji materi bagi masyarakat yang tidak puas juga bisa lebih leluasa. Berbeda dengan pelaksanaan pemilu lalu, di mana uji materi berlangsung di saat tahapan awal pemilu sudah berjalan. “Jangan sudah dimulai baru masuk MK,” tuturnya.
Mahfud optimistis pembahasan UU Pemilu tidak akan menamakan waktu lama. Sebab, sifatnya hanya menyempurnakan UU sebelumnya. Soal pasal apa saja yang akan diubah dia belum bisa membeberkan. Saat ini, pihaknya pun sudah meminta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk menyiapkan drafnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini juga optimistis UU yang terkait hajat politik bisa segera dibahas. Yang penting ada komitmen bersama antara pemerintah dan DPR untuk membahasnya sejak awal. Dimulai dengan memasukkan tiga RUU ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Yakni, revisi UU Pemilu, Pilkada dan Parpol.
Salah satu hal yang paling urgent untuk dibahas adalah bab keserentakan pemilu. Saat ini, perkara keserentakan itu sedang diuji materi di Mahkamah Konstitusi. Menurut Titi, tidak masalah bila keduanya berjalan berdampingan. ’’Proses di DPR bisa berangkat dari kondisi objektif yang ada di masyarakat kita,’’ terangnya kemarin.
Praktik pemilu serentak dengan lima surat suara terbukti sangat rumit untuk dilaksanakan. Perlu ada rumusan yang mampu menerjemahkan makna keserentakan tersebut. Alternatif yang diusulkan Titi adalah memisahkan pemilu nasional dan daerah. Pemilu nasional memilih Presiden, DPR, dan DPD, sementara pemilu daerah dilaksanakan minimal dua tahun setelah pemilu nasional. Memilih DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, Gubernur, serta Bupati/Wali Kota.
Evaluasi yang dilakukan terhadap pemilu 2019 bisa menjadi pijakan untuk meninjau kembali bentuk keserentakan pemilu. Apalagi, yang dibicarakan adalah kepentingan politik. Setiap partai pasti memperhitungkan kepentingan elektoranya. Yang terpenting, prosesnya segera dimulai. Fraksi-fraksi di komisi II harus segera memformulasi evaluasi dan rekomendasi atas penyelenggaraan pemilu 2019.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penyusunan revisi UU, adalah sifat terbuka dan partisipatif. Pembuat UU harus mau mendengar masukan dari banyak pihak. ’’Juga sebisa mungkin melibatkan penyelenggara pemilu. Jangan ditinggal,’’ lanjutnya. Selama ini, sejumlah pasal dalam UU Pemilu sulit diimplementasikan secara teknis karena penyelenggara kurang didengar masukannya.
Ketiga UU, baik pilkada, Pemilu, maupun Parpol, tidak boleh disusun dengan tergesa-gesa. Bila terlalu dipaksakan, bisa-bisa hasilnya tidak matang dan substansinya tidak berkualitas. Yang ada, malah mengulang kesalahan produk legislasi sebelumnya. Pembuat UU harus benar-benar fokus sejak awal agar produk regulasi yang dihasilkan benar-benar berkualitas. (far/byu/prokal)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post