bontangpost.id – Pengesahan UU Cipta Kerja menyulut keresahan investor global. Akibatnya, 35 investor global dengan nilai aset kelolaan (asset under management/AUM) mencapai USD 4,1 triliun pun melayangkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan jajarannya.
Dalam surat terbuka itu, para konglomerat itu khawatir UU Cipta Kerja merusak kondisi lingkungan, sosial, dan pemerintahan. Puluhan investor itu juga mengkhawatirkan perubahan kerangka perizinan dan persyaratan pengelolaan lingkungan dan konsultasi publik, serta sistem sanksi yang bakal berdampak buruk pada lingkungan, hak asasi manusia, dan ketenagakerjaan.
Menanggapi hal itu, Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia memastikan bahwa 35 investor itu bukanlah pemilik modal yang menanamkan investasinya di Indonesia.
‘’Setelah kami mengecek, 35 investor tersebut tidak terdaftar di BKPM sebagai perusahaan yang menginvestasikan dananya di Indonesia. Bahkan, kami sudah mengecek ke Bursa Efek Jakarta pun tidak ada,’’ ujarnya di Jakarta, (8/10/2020).
Bahlil justru mempertanyakan maksud dan tujuan 35 investor yang keberatan pada UU Cipta Kerja. Sebab, puluhan investor itu diketahui tak memiliki kaitan bisnis di Indonesia.
‘’Kalau dia tidak melakukan kegiatan usahanya di Indonesia, tiba-tiba dia membuat surat terbuka tidak setuju, ada apakah ini? Itu teman-teman wartawan tanyalah kepada rumput yang bergoyang,’’ tutur dia.
Dia menduga, ada kelompok yang memang dengan sengaja memutarbalikkan fakta terkait UU Cipta Kerja. Kelompok itu diduga memiliki kepentingan tertentu.
Mantan Ketua Umum Hipmi itu menilai, wajar jika ada yang mengkritisi pemerintah terkait UU Cipta Kerja. Namun, semestinya, kritikan tersebut harus disampaikan dengan jelas dan obyektif.
Bahlil meyakini, Omnibus Law adalah solusi yang akan menghilangkan hambatan dalam berbisnis atau berinvestasi di Indonesia. Mulai dari proses perizinan yang berbelit-belit, hingga tumpang tindih aturan. Dia yakin peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia yang masih stagnan di urutan ke-73 akan menjadi lebih baik.
Dia menyebut, investasi dan penciptaan lapangan kerja amat diperlukan di kondisi ekonomi yang tertekan akibat Covid-19. ‘’Bayangkan kalau tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan untuk adik-adik kita, kita akan menjadi generasi yang akan menyesal di kemudian hari,’’ imbuh dia.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut, pembuat UU omnibus law dari awal sudah salah dalam analisa upah dan produktivitas tenaga kerja. Masalah upah tidak bisa disamakan dan dipukul rata. Tapi bergantung pada jenis pekerjaan dan industrinya.
Misalnya, upah tenaga kerja di industri otomotif yang butuh skill tinggi. Wajar bila upahnya mahal. Sementara untuk yang industri alas kaki atau sepatu upahnya lebih rendah.
Kecuali, Indonesia ingin bersaing dengan India, Bangladesh dan Ethiopia untuk mengejar low cost labor industry. “Yang penting tenaga kerja banyak tapi upah rendah. Kalau model investasi yang kualitasnya rendah dikejar maka wajar solusinya adalah omnibus law,” ujar Bhima saat dihubungi Jawa Pos tadi malam.
Namun, sebaliknya jika ingin menarik investasi yang hitech dan high skill labor, maka pemerintah seharusnya tidak bermain dalam perubahan regulasi upah dan tunjangan pekerja. Tapi harus membenahi soal pendidikan, ketrampilan, dan pemberian hak pekerja yang lebih baik.
Menurut dia, perusahaan brand internasional berbagai produk dengan target konsumen negara maju, pasti menginginkan investasi yang memenuhi standar. Baik standar lingkungan, menghargai hak pekerja (fair labor and decent work), dan tansparan. Tidak terlibat dalam praktik suap atau korupsi.
Bhima memandang omnibus law merupakan anomali. Justru mundur ke belakang. Alhasil, Indonesia sebenarnya turun kelas bukan bersaing dengan Vietnam dan Thailand. Tapi negara-negara miskin dalam berebut investasi yang kualitasnya rendah.
“Jatuhnya, jualan kuantitas bukan kualitas. Saya mau ikut judicial review di MK (Mahkamah Konstitusi),” tegas Bhima.
Di sisi lain, analis pasar modal Hans Kwee menilai, pasar saham merespons positif pengesahan omnibus law. Tercatat, sejak disahkan menjadi undang-undang pada Senin lalu (5/10), indeks harga saham gabungan (IHSG) finis di zona hijau. Kemarin (8/10), IHSG meningkat 0,70 persen atau 34,81 poin di level 5.039,14.
Menurut dia, omnibus law banyak membawa kemudahan. Pembebasan lahan lebih gampang pada sektor properti dan kontruksi, pembangunan infrastruktur teknologi komunikasi, serta aturan terkait buruh akomodatif dan perizinan yang cepat bagi pengusaha.
Hans menyadari, UU sapu jagat itu mendapat banyak penolakan oleh kaum buruh. “Sebagian memang buruh tidak terlalu paham. Reformasi perburuhan perlu dilakukan. Artinya, tidak bisa sebagian buruh yang sudah kerja menyandera hak buruh lain,” terangnya.
Dia melihat saat realokasi bisnis Tiongkok keluar negeri, yang masuk ke Vietnam banyak. Sedangkan, Indonesia sedikit. Salah satunya ya karena indonesia mempunyai aturan yang tidak baik. Makanya, Presiden Joko Widodo membuat omnibus law untuk membereskan itu semua.
“Memang pemerintah harus pro pengusaha. Kalau nggak, pengusaha tutup semua, buruh mau kerja dimana?” ujar Direktur Anugerah Mega Investama itu.
Dengan adanya reformasi perburuhan, kata Hans, tugas buruh adalah harus menaikkan kemampuan (skill) mereka. Dengan begitu, pasti akan berkembang. Itu juga untuk memastikan masa depan buruh itu sendiri. Karena yang diatur dalam omnibus law sebenarnya buruh kasar supaya mendapatkan hak yang layak.
Seiring kemajuan teknologi, buruh akan menghadapi era robot. Pabrik tentu memilih menggunakan robot untuk produksi. Dari segi biaya, lebih murah hanya untuk maintenance secara berkala. Daripada mempekerjakan banyak buruh yang setiap bulan harus digaji. Tentu membuat besar biaya operasional. “Makanya, pabrik di Tiongkok karyawannya sedikit. Di bawah seratus. Tapi, di Indonesia sampai ratusan,” imbuh Hans.
Sedangkan, bagi buruh dengan kemampuan khusus, seperti otomotif, sangat tergantung pada demand (permintaan) dan supply. Jika ada permintaan tenaga kerja ahli, pasti dipekerjakan dan digaji mahal. Tapi, kalau tidak ada, pasti nganggur. Pemerintah tidak bisa mengatur itu. (dee/han/kpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post