OPERASI tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan seorang Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan calon anggota legislatif (caleg) dari PDI Perjuangan (PDIP) menyita perhatian banyak pihak. Terlebih, tersiar kabar jika upaya kerja KPK dalam menyelidiki kasus tersebut, diduga dihalang-halangi oleh oknum dalam tubuh partai.
Akademisi Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah menyebut, upaya mencegah, merintangi, atau menggagalkan proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK, dapat dikategorikan sebagai kejahatan merintangi proses hukum (obstruction of justice), sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Kejahatan obstruction of justice ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling paling banyak Rp 600 juta.
“Ada dua peristiwa yang diduga mengarah kepada tindakan merintangi proses hukum berdasarkan ketentuan Pasal 21 UU Tipikor tersebut. Pertama, dugaan tindakan penghalangan terhadap penyidik KPK saat berupaya melakukan penyitaan, penggeledahan, dan penyegelan kantor PDIP, yang diduga berkaitan erat dengan OTT ini. Kedua, dugaan tindakan penghalangan terhadap penyidik KPK saat berupaya melakukan penangkapan seorang politisi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), yang diduga peran penting dalam peristiwa OTT ini,” papar Castro, sapaan akrabnya dalam rilisnya kepada Bontangpost.id, Minggu (12/1/2020).
Lebih lanjut, Castro bersama Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Unmul pun mengeluarkan pernyataan sikap terkait kasus ini. Pertama, KPK harus memiliki sikap keberanian untuk segera menetapkan tersangka dan menangkap siapapun, termasuk elit politik dari partai berkuasa, yang diduga terlibat dalam peristiwa OTT ini.
“Kedua, KPK harus berani menjerat siapapun yang merintangi proses hukum, dengan ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” lanjutnya.
Ketiga, kata Castro, mendesak untuk dilakukannya evaluasi terhadap desain penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan, yang cenderung birokratis serta tidak efektif dan efisien dalam pelaksanaan OTT.
“Keempat, mengajak kepada seluruh kalangan masyarakat sipil untuk memberikan dukungan kritis kepada KPK, dalam makna memberikan sokongan ketika KPK dilemahkan, namun juga berani melontarkan kritik ketika KPK keluar dari koridor amanah rakyat,” pungkasnya. (Zulfikar)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post