SAMARINDA – Sikap Awang Ferdian Hidayat mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dipertanyakan. Pengamat hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah menilai, langkah politik yang diambil putra Gubernur Kaltim itu perlu dievaluasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kaltim.
Pengajar di Fakultas Hukum Unmul itu menyebut, walau langkah Calon Wakil Gubernur (Cawagub) Kaltim yang berpasangan dengan Syaharie Jaang itu tidak melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, tetapi tidak berarti keputusan tersebut diperbolehkan.
“Memang tidak ada norma yang secara eksplisit melarang calon kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk mendaftar sebagai anggota DPD. Tetapi tidak ada larangan bukan berarti boleh,” kata pria yang karib disapa Castro itu, Kamis (19/4) kemarin.
Mengacu pada pasal 7 ayat 2 huruf s undang-undang tersebutu, terdapat syarat bagi anggota DPRD, DPR, dan DPD RI untuk mengundurkan jika memilih mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah.
“Maksud pembuat UU menyusun norma itu agar tidak ada konflik kepentingan antara jabatannya dengan posisinya sebagai calon. Seharusnya logika hukum ini bisa dipakai dalam kasus Ferdian. Tidak patut bagi seorang calon pada saat bersamaan turut mendaftar sebagai anggota DPD RI,” terangnya.
Castro menyebut, apabila langkah Ferdian tersebut tidak segera dihentikan, maka akan menjadi citra buruk bagi pemilihan kepala daerah (pilkada) di masa depan. Selain itu, imbasnya akan menjadi preseden buruk bagi calon kepala daerah lainnya.
“Ini mirip dengan hijrah massalnya anggota DPD RI ke partai politik. Memang tidak ada larangan dalam aturan, tetapi itu mengacaukan sistem parlemen dua kamar,” tegasnya.
Karena itu, dia menyarankan KPU Kaltim melakukan konsultasi di KPU pusat. Jika belum ada aturan yang mengatur secara tertulis tentang pelarangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD, dan DPD RI, maka konsultasi KPU tersebut diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk perbaikan aturan pilkada.
“Mungkin pembuat UU dulu tidak memikirkan ini. Ada pemeo hukum yang mengatakan bahwa terbentuknya suatu peraturan perundang-undangan senantiasa selalu tertinggal dan terbelakang dibandingkan kejadian-kejadian dalam perkembangan masyarakat,” ucapnya.
Pengamat politik dari Unmul Samarinda, Budiman menambahkan, pencalonan diri Ferdian sebagai anggota DPD RI menjadi pintu masuk bagi lawan politiknya untuk menyerang putra Gubernur Kaltim itu dalam debat publik mendatang. Karena Ferdian dianggap mencari pekerjaan di dua tempat yang berbeda.
“Pasang dua kaki. Jika salah satunya gagal, maka masih ada peluang di lembaga lain. Istilah seperti ini jadi celah kritik dari pasangan calon (paslon) lain untuk Jaang dan Ferdian,” ucapnya.
Selain itu, imbas lain yang dapat diterima paslon nomor urut 2 yakni pemilih rasional akan beranggapan bahwa Jaang dan Ferdian kalah sebelum bertanding. Pasalnya langkah tersebut dapat ditafsirkan ketidakpercayaan diri dalam pertarungan memperebutkan kursi gubernur dan wakil gubernur.
“Masyarakat akan mempertanyakan etika politiknya. Makanya pemilih rasional akan melihat Pak Ferdian ini tidak percaya diri. Dan ini bisa mempengaruhi pemilih. Dia akan dianggap tidak memiliki komitmen dalam mencalonkan diri sebagai cawagub,” jelasnya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post