SAMARINDA – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kaltim menilai, penegakan hukum lingkungan yang dilakukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltim belum berjalan maksimal. Hal itu terlihat dari sejumlah kasus lingkungan yang tidak berakhir dengan pemberian sanksi terhadap pelaku yang merusak lingkungan di Benua Etam.
Anggota Komisi III DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu menyebut, mestinya DLH atau Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim belajar dari kasus penegakan hukum lingkungan yang pernah menimpa PT Indominco pada 2017 lalu.
Kata pria kelahiran 5 April 1972 itu, perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PK2B) yang beroperasi di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) tersebut dilaporkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI. Karena terbukti melakukan pencemaran lingkungan di Desa Santan Ilir, Kecamatan Marang Kayu, Kukar.
Perusahaan batu bara tersebut diketahui telah membuang Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di atas lahan terbuka yang tidak disertai izin. Selain itu, perusahaan juga membuang B3 tanpa disertai media yang menghalangi limbah masuk ke dalam tanah. Akibatnya limbah meresap dalam tanah, hingga mengotori media dalam tanah. Juga pembuangan B3 di ruang terbuka mengakibatkan pencemaran udara.
“Kasus itu telah membuat PT Indominco dikenakan sanksi sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan. Bahkan menurut infomasi yang saya dapat, perusahaan dikenakan denda miliaran rupiah,” ungkap anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) itu, Senin (2/4) kemarin.
Kasus yang pernah memanas di Pengadilan Negeri Tenggarong itu, lanjut Bahar, hendaknya menjadi catatan tersendiri bagi DLH dan ESDM Kaltim. Sebab penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan sesuai perintah UU Nomor 32/2009.
Pemprov, saran dia, tak boleh tebang pilih terhadap seseorang atau korporasi yang telah membawa dampak negatif bagi lingkungan hidup. Bila telah ditemukan bukti-bukti yang kuat, sanksi dapat pemulihan lingkungan, ganti rugi, hingga pidana dapat dikenakan pada pelaku.
“Penegakan hukum lingkungan lemah karena kurangnya keseriusan. Walaupun dalam aturan, besaran sanksi atau denda yang dikenakan tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan. Tetapi ganti rugi dengan nilai Rp 3 miliar sampai Rp 15 miliar bisa memberikan efek jera. Makanya kita butuh orang yang mau menegakkan aturan lingkungan,” sebutnya.
Dia melihat, jumlah personel PPNS di DLH Kaltim sudah memenuhi standar. Sebab kasus pencemaran lingkungan tak muncul setiap hari. “Paling tiga bulan sekali ada kasus. Mereka (PPNS, Red.) banyak makan tidur saja,” ucapnya.
Bila lemahnya penegakan hukum lingkungan karena minimnya anggaran PPNS, dinas terkait bisa mengajukannya pada DPRD atau pemerintah provinsi. Sebab setiap tahun tersedia porsi anggaran untuk penyelesaian kasus lingkungan.
“Kalau anggaran yang jadi masalahnya, pemerintah tinggal bilang, bisa dianggarkan. Karena Kaltim punya potensi anggaran untuk penyelesaiaan kasus lingkungan,” tutup mantan Pengurus Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim tersebut. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: