Jafar Haruna memang tercatat sebagai satu dari 55 wakil rakyat yang berkantor di Karang Paci, DPRD Kaltim. Namun jauh sebelum itu, pengabdian kakek delapan cucu ini telah dimulai empat dekade lalu sejak dia mengajar sebagai guru sekolah dasar.
LUKMAN MAULANA, Samarinda
Cita-cita Jafar sebenarnya bukanlah menjadi guru. Melainkan menjadi seorang petani, dengan niat memakmurkan lahan pertanian di kampungnya, Jeneponto, Sulawesi Selatan. Makanya selepas SMP, Jafar remaja sudah ancang-ancang masuk ke sekolah pertanian. Demi keinginannya itu, Jafar merantau dari kampungnya, Allu ke Makassar.
“Saya melihat kampung saya punya potensi pertanian yang bisa dikembangkan. Inginnya waktu itu mempelajari ilmu pertanian untuk memajukan daerah,” kata Jafar kepada Metro Samarinda.
Atas usulan kakak sepupu, dia mendaftar di Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Makassar. Ikatan dinas yang diberikan sekolah ini menjadi pertimbangan baginya untuk menuntut ilmu di sekolah tersebut. Hebatnya dalam ujian tertulis di SPMA, Jafar dinyatakan lulus dengan angka cukup memuaskan.
“Segera saja kabar kelulusan ini saya sampaikan kepada orang tua di kampung,” kenangnya.
Namun alih-alih gembira, orang tua Jafar justru tidak merestui pilihan Jafar. Mereka beranggapan, untuk apa mesti bersusah payah bersekolah bila pada akhirnya menjadi petani. Lebih baik pulang kampung dan langsung menggarap sawah, pikir mereka. Alhasil, Jafar menuruti keinginan orang tuanya dengan masuk ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Muhammadiyah Makassar.
Jafar berkisah, jarak SPG Muhammadiyah relatif cukup jauh dari Bara Baraya, tempatnya menumpang tinggal. Namun begitu, setiap pagi dia tetap semangat berangkat ke sekolah meski hanya berjalan kaki. Pagi-pagi buta, dia sudah meninggalkan rumah sehingga tidak pernah terlambat datang ke sekolah.
“Sebagai orang kampung, berjalan kaki bukan hal berat. Tapi terkadang saya menumpang di truk tentara yang melintas. Pulangnya saya naik bemo lalu berjalan kaki lagi sampai rumah,” tutur Jafar.
Kegemaran berorganisasi yang sudah mulai muncul saat SMP, dilanjutkan Jafar di bangku SPG. Menurutnya, berorganisasi ibarat candu yang membuat ketagihan. Apalagi banyak manfaat yang bisa dia petik. Salah satunya memperluas pergaulan sehingga memiliki banyak teman. Juga menambah wawasan dan pengetahuan.
“Termasuk memupuk rasa percaya diri untuk tampil di muka umum. Sebagai orang yang berasal dan besar di kampung, saya harus bisa menghilangkan perasaan minder ketika berhadapan dengan teman-teman lewat kebiasaan berorganisasi,” urainya.
Di SPG Muhammadiyah, Jafar tergabung dalam Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Mamajang. Bahkan, dia sempat ikut aksi bersama IPM menyegel pagar sekolah setelah pergantian kepala sekolah. Beredar isu bahwa kepala sekolah pengganti memiliki kedekatan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Gara-gara aksi penyegelan ini, kegiatan belajar mengajar jadi tertunda.
“Pengurus yayasan akhirnya turun tangan dan memanggil kami. Mereka meminta kami menghentikan aksi demonstrasi karena apa yang dituduhkan tidak benar. Kami pun membuka segel pagar sekolah keesokan harinya,” terang Jafar yang sempat menjadi Ketua IPM Mamajang.
Selepas lulus SPG pada 1970, Jafar langsung mengajar pada salah satu SD di Makassar. Keinginan kuat untuk melanjutkan pendidikan membuatnya menempuh pendidikan sarjana di IKIP Makassar (sekarang Universitas Negeri Makassar). Kuliahnya itu dia lakukan sembari melakoni tugas sebagai guru.
“Jurusan yang saya ambil Bahasa Indonesia. Jurusan ini tidak banyak diminati dan sering dianggap remeh. Karena dianggap tidak perlu dipelajari. Padahal tidak begitu, Bahasa Indonesia sama pentingnya dengan jurusan yang lain,” beber Jafar.
Lulus sebagai sarjana muda pada 1974, Jafar beralih tingkat pendidikan. Dia menjadi guru di tingkat SMP. Seiring berjalannya waktu, Jafar lantas mengajar di SMA. Kata Jafar, pengalaman saat menjadi guru SMA merupakan yang paling berkesan di antara kariernya sebagai pengajar. Pasalnya, masa-masa itu merupakan awal dia mempelajari seluk-beluk menjadi seorang guru.
“Waktu itu saya masih muda, rambut saya dulu masih gondrong. Usia saya juga baru 22 tahun, jadi tidak terlalu jauh dengan murid-murid yang saya ajar di SMA,” ungkap pria kelahiran Jeneponto, 19 Februari 1951 ini.
Di masa mudanya tersebut, Jafar mengaku senang belajar hal-hal baru. Khususnya terkait profesinya sebagai seorang guru. Menjadi yang paling muda di antara guru-guru lainnya, Jafar banyak mengambil pelajaran dari para seniornya. Apalagi dia dianggap sebagai salah satu guru berprestasi di sekolah. “Saya banyak bertukar pikiran, mengambil pengalaman dari guru-guru senior,” tambahnya.
Dengan usia yang relatif muda kala itu, dia mengaku punya model pembelajaran tersendiri. Dalam hal ini, Jafar melakukan pendekatan kepada anak-anak muridnya ibarat teman sendiri. Ada kalanya dia menempatkan diri sebagai seorang teman, ada kalanya pula dia bertindak sebagai seorang guru. Komunikasi dengan murid tidak hanya dilakukan di sekolah, namun juga di lingkungan keluarga.
“Saya termasuk guru yang keras. Khususnya terhadap larangan merokok di sekolah. Kalau sampai ada murid yang ketahuan merokok, saya balik rokoknya biar dia hisap apinya,” imbuh Jafar. Pendekatan ala teman sebaya ini lantas membuatnya banyak disenangi para murid. Malahan Jafar menyebut, banyak anak muridnya yang sukses lewat model pendidikannya itu.
“Banyak murid saya yang kini sudah menjadi orang besar. Ada yang jadi kepala dinas, kepala daerah, dan juga jenderal,” ujarnya.
Meski sudah berstatus guru, semangat Jafar untuk terus belajar tidak pernah surut. Dia melanjutkan pendidikan di IKIP dan meraih gelar sarjana penuh tahun 1982. Selepas lulus, Jafar diangkat menjadi asisten dosen di IKIP. “Bukan dosen biasa, saya jadi asisten guru besar yang juga rektor IKIP, Profesor Paturungi Parawansa,” tambahnya.
Sebagai asisten dosen kala itu, Jafar punya selang waktu dua tahun menunggu menjadi dosen tetap. Namun bukan hal mudah bagi Jafar untuk bisa menjadi seorang dosen. Pasalnya, latar belakangnya sebagai guru berasal dari dari pendidikan tingkat menengah. Sementara dosen merupakan ranah pendidikan tinggi. “Peralihan ini yang berat karena harus mutasi dari SMA ke perguruan tinggi,” sambungnya.
Dalam suatu kesempatan, Jafar bertemu dengan Awang Faroek Ishak. Kala itu Awang Faroek masih menjadi Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda. Keinginan menjadi dosen tetap lantas diutarakan Jafar kepada Awang Faroek. Gayung bersambut, Jafar mendapat rekomendasi dari Awang Faroek untuk mengajar di FKIP Unmul.
“Tahun 1984 saya pindah ke Samarinda dan mulai mengajar di FKIP. Saya mengajar sosio linguistik di jurusan pendidikan bahasa,” terang Jafar.
Di Unmul, karier Jafar perlahan menanjak. Sembari mengajar, dia melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. Jafar sempat dipercaya menjabat Kepala UPT Praktik Pengenalan Lapangan (PPL) hingga mendapat beasiswa S3 di Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung.
Lulus bergelar doktor pada 1996, Jafar terus mengabdikan diri baik di lingkungan kampus maupun masyarakat. Pengalaman dan kapasitasnya sebagai seorang akademisi lantas membuatnya dinobatkan menjadi seorang guru besar pada 1999.
“Masyarakat menganggap guru besar sebagai sosok yang serba bisa. Padahal tidak demikian. Guru besar berusaha menjawab permasalahan masyarakat dengan memberikan solusi-solusi terbaik,” tandasnya. (bersambung)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post