Oleh:
Nur’Amal
Guru Al-Quran Cahaya Fikri Bontang
Polemik negeri ini kian hari semakin melemahkan stabilitas negeri Indonesia. Masalah dari hal sepele hingga hal yang urgent selalu hangat dibincangkan, karena tak ada solusi yang pas dalam menyikapi masalah-masalah itu. Bulan lalu (7/11/17) kembali masyarakat Indonesia beramai-ramai memberikan sikap tentang puncak keputusan MK sebagai Mahkamah Kontitusi Tertinggi yang mengesahkan Aliran kepercayaan masuk kolom agama di KTP. Hal itu diatur dalam pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta pasal 64 ayat (1) dan (5) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto UU No 24 Tahun 2013 tentang UU Administrasi Kependudukan.
Uji materi diajukan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dan Carlim dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016. Dalam putusannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.(Banjarmasinpost.co.id)
Pembahasan yang belum usai di tahun 2014 yang pada awalnya, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo memperbolehkan pengosongan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) karena saat itu munculnya isu perlindungan terhadap kelompok agama minoritas. Namun hal tersebut menuai pro dan kontra. Wacana pengosongan yang semula berlaku bagi pemeluk agama yang tidak diakui negara, bergeser pada isu penghapusan kolom agama di KTP. Polemik ini terus bergulir di masyarakat dan memunculkan berbagai pendapat. Berbagai LSM menyuarakan agar kolom agama dihapus saja di KTP. Mereka melihat tidak ada urgensinya, malah pencantuman agama menjadi biang terjadinya diskriminasi.
Sejatinya menjadi penting bagi kita melihat persoalan kolom agama di KTP secara komprehensif. Artinya melihat dengan kaca mata utuh, bukan sepenggal-sepenggal, tanpa tendensi politik pihak-pihak tertentu. Sehingga lahir keputusan yang bijak dan berdampak baik bagi sebuah bangsa. Menjustifikasi kolom agama biang diskriminasi dan tidak sesuai dengan konstitusi adalah tindakan yang gegabah dan penuh emosional sesaat. Untuk itu kita perlu membaca urgensi kolom agama secara utuh dan menyeluruh. Sebab penghapusan kolom agama tidak hanya berimplikasi terhadap warga negara secara personal, tetapi juga terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Salah dua dari urgensi kolom agama adalah: Pertama sebagai identitas negara, kolom agama adalah identitas negara yang berketuhanan. Sebagaimana bunyi sila pertama dalam Pancasila, artinya mengisi keterangan agama pada KTP adalah suatu yang sangat dibutuhkan. Kedua sebagai stabilitas keamanan negara, hal ini penting untuk dicermati, sebab mengosongkan kolom agama akan berpotensi tumbuh suburnya aliran-aliran atau sekte dalam agama. Bahkan bisa jadi dapat menumbuh suburkan atheisme dan aliran-aliran yang belum tentu sejalan dengan Pancasila. (analisis.hukumpedia.com)
Secara eksplisit, negeri Indonesia telah membuka keran berkembangnya aliran-aliran atau sekte dalam agama. Salah satu media menyebut jumlah aliran kepercayaan yang ada di Indonesia mencapai 187 aliran dan tersebar diberbagai wilayah di tanah air. Dikemudian hari akan bermunculan pernyataan – pernyataan sepihak yang membenarkan tindakan ini seperti paham Ateisme yang tidak mengenal tuhan dapat dilegalkan. Padahal sejatinya adalah suatu keyakinan yang berlawanan dengan Pancasila yang diklaim sebagai dasar negara. Aliran- aliran sesat tidak lagi menjadi ancaman bagi Negara melainkan negara sebagai pembela terdepan dalam menampung semua aliran yang berkembang di negeri ini.
Kekhawatiran yang pernah ada akhirnya terjadi, disahkannya Aliran kepercayaan dalam kolom agama adalah bukti bahwa negeri ini memberikan kebebasan dalam berkeyakinan dengan pola yang tidak bisa dibatasi ruangnya. Berbagai dalih atau pembenaran dibuat untuk menggolkan ide liberal ini. Maknanya adalah sama saja mengosongkan kolom agama bagi agama yang tidak di akui negara atau memasukkan aliran kepercayaan dalam kolom agama di KTP. Mungkin inilah jawaban mengapa aliran sesat yang pernah dinyatakan MUI bahwa ada sekitar 300 aliran sesat di Indonesia namun tak ada respon dari penguasa Negeri karena mereka (baca: penguasa) melindungi hak mereka.
Menurut Penulis, satu wajah Indonesia kedepan adalah Liberalisasi yang nyata. Menelisik lebih jauh jika negeri ini tidak menetapkan agama resmi adalah kedepan agama bukan lagi sesuatu yang dibutuhkan dalam berkehidupan. Realita bahwa Indonesia yang majemuk semakin bertambah rumitnya dengan diakuinya aliran kepercayaan yang dianggap sama dengan agama. Alasan bahwa terjadi diskriminasi terhadap minoritas tidaklah kuat untuk dijadikan bahan pertimbangan. Lebih lanjut, keputusan MK itu menandakan negeri ini mundur ke zaman batu dimana paham animisme-dinamisme tumbuh subur di Indonesia, di era sains yang semakin maju. Indonesia menjadi negara yang tidak berdaulat terhadap hukum yang dibuatnya karena telah melanggar aturan undang-undang yang dijadikan sebagai dasar negara. Pandangan-pandangan yang multitafsir akan terus ada kedepan karena tidak adanya batasan yang disepakati. Namun yang mendominasi adalah pendapat suara mayoritas dan ide kebebasan yang dikembalikan pada setiap individu, dimana individu tidak dapat dijadikan solusi dalam penyelesaian masalah sebab penyimpangan sikap itu terjadi pada individu.
Sebagai bahan pertimbangan jika negeri now tidak ingin kembali ke zaman batu, maka negara ini harus serius dalam menonjolkan dirinya sebagai negara hukum. Menghilangkan image tentang lemahnya hukum di Indonesia. Mulai dari fakta hukum diperjualbelikan, hukum yang tajam ke rakyat namun tumpul ke para penguasa, hukum dibuat untuk dilanggar dan fakta seabrek lainnya. Meninggalkan paham liberalisme adalah solusi tuntas yang akan mengembalikan stabilitas negeri Indonesia dikancah perpolitikan dunia karena biang segala masalah itu adalah ide kebebasan itu sendiri.(*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: