BONTANG – Base Transceiver Station (BTS) atau menara telekomunikasi milik PT Dayamitra Telekomunikasi dikabarkan tak berizin. Padahal, BTS tersebut sudah berdiri kukuh di wilayah RT 20, Kelurahan Loktuan, sejak 2011. Warga sekitar pun melakukan protes atas kejadian tersebut.
“BTS tersebut tidak berizin. Baik itu izin mendirikan bangunan (IMB) maupun analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Apakah kita merestui sesuatu yang tidak legal, saya rasa pemerintah kecolongan,” terang Irwan, warga RT 20, saat menghadiri rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPRD, Senin (16/4) kemarin.
Irwan juga menyebut konstruksi menara tidak layak. Sling sudah berkarat. Tidak ada perawatan konstruksi dari pemilik BTS. “Ini sangat membahayakan warga kalau roboh dan mengenai warga, perusahaan apa bisa ganti nyawa?” tanya Irwan.
Perwakilan warga lainnya, Agus Tony, mengatakan terganggu dengan kebisingan dari suara mesin diesel di menara tersebut. Pasalnya, rumah kediamannya persis berada di samping lokasi BTS.
“Pernah saat ada petugas yang mau mengisi bahan bakar saya larang, ternyata mereka memanfaatkan momen ketika saya kerja,” kata Agus.
Bukan itu saja, hadirnya BTS ini juga merusak peralatan elektronik milik warga. Bahkan, warga ketakutan saat cuaca hujan disertai petir.
“Kalau perusahaan mau bukti itu saya kumpulkan televisi yang rusak satu karung,” tambahnya.
Burhan, warga lainnya, meminta agar menara tersebut dirobohkan. Meski demikian, perusahaan tetap wajib mengganti kerugian yang dialami oleh warga.
“Saya minta pimpinan rapat, walaupun nanti dibongkar towernya, PT Dayamitra Telekomunikasi tetap mengganti kerugian warga,” ucapnya.
Kasi Pengaduan, Pengendalian Data dan Pelaporan, Dinas Penanaman Modal, Tenaga Kerja dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMTK-PTSP) Bontang Ramli Mansurina membenarkan bahwa perusahaan tidak mengatongi izin. Izin tidak bisa dikeluarkan mengingat status menara bersifat sementara yakni compact mobile base station (combat).
“Tower tersebut sifatnya sementara 6 bulan sehingga tidak dapat diizinkan,” kata Ramli saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPRD, Senin (16/4).
Ia mengaku, wewenang pemberian izin pada saat itu dipegang oleh Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pembangunan Daerah (dulu Bappeda, Red.).
Sementara Kepala Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik (Diskominfotik) Dasuki berujar, kewenangan terkait pembangunan menara dan izin frekuensi bukan berasal dari instansi yang dipimpinnya. Regulasi ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa kewenangan diambil oleh pemerintah pusat.
“Diskominfotik berada diluar jadi tidak bisa memberikan rekomendasi apa-apa,” ucap Dasuki.
Diskominfotik hanya menangani pemakaian menara untuk informasi publik dan pengelolaan domain. Bahkan, konstruksi menara menjadi wewenang dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota (PUPRK).
Menanggapi keluhan warga, Legal Officer PT Dayamitra Telekomunikasi Dony mengatakan, telah mendapat rekomendasi dari warga sebelum pembangunan. Hal ini dibuktikan dengan adanya salinan dokumen yang dipegang oleh pihak perusahaan.
“Pembangunan dilakukan subkontraktor yaitu PT Barkatell. Sayangnya, kini perusahaan itu telah pailit,” kata dia.
Berkaitan dengan imbas petir, pemilik BTS baru mendapat informasi di akhir 2017. Ia mengaku tetap akan melakukan penggantian kerugian, namun tidak serta merta begitu saja, perusahaan memerlukan rekomendasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
“Itu butuh proses sekitar tiga bulan baru bisa direalisasikan,” kata Dony.
Mengenai konstruksi menara, ia mengaku juga proses perawatan dilakukan oleh subkontraktor, yakni PT SPM yang terletak di Balikpapan. Berdasarkan jadwal, bahwa proses maintenance satu bulan sekali.
“Kami akan mengecek apakah subkon melakukan maintenance. Mengingat banyak keluhan masyarakat tetapi tidak sampai ke kami,” tukasnya. (ak)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: