bontangpost.id – Dilayangkannya surat perintah pencabutan pengujian UU 47/1999 mendapat respons dari Wakil Ketua DPRD Kota Bontang Agus Haris.
Ia mengungkapkan, terdapat salah satu poin dalam surat tersebut yang memuat agar penyelesaian permasalahan hukum antar pemerintah daerah ditempuh dengan upaya administratif ketatanegaraan, yang difasilitasi oleh Kemendagri. Serta tidak melakukan upaya penyelesaian di lembaga peradilan.
Namun, kata dia, dalam UU 47/1999 tidak ada lampiran peta wilayah secara spesifik, yang dapat diartikan tidak lengkap hukum. Hal itu yang menjadi pertimbangan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Berbeda bila yang diajukan uji materi ialah Pemendagri 25/2005.
“Bagaimana mau diselesaikan di Kementerian, sementara di dalamnya (UU 47/1999) tidak ada kelengkapan mengenai tapal batas,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menilai persoalan tersebut tidak dibahas dengan serius, sehingga menimbulkan multi tafsir dan berdampak kepada warga sidrap. Lantaran tidak adanya kepastian hukum, keadilan, dan asas manfaat yang dirasakan masyarakat Kampung Sidrap.
“Kami sudah perjuangkan selama 20 tahun. Pengajuan uji materi ke MK ini sebagai upaya terakhir kami,” lanjutnya.
Serangkaian perjalanan panjang itu pun telah diupayakan, baik secara kekeluargaan dengan pemerintah daerah terkait, hingga ke pemerintah provinsi bahkan Kemendagri.
Ia turut meminta kepada Pj Gubernur Kaltim agar tidak terlalu jauh mencampuri urusan tersebut. Sementara Pemkot Bontang diharapkan untuk tidak menindaklanjuti surat yang dilayangkan Kemendagri. Artinya tetap melanjutkan proses uji materi tapal batas Kampung Sidrap di MK.
“Ini bentuk intervensi hukum dan sifatnya sangat politis,” pungkasnya.
Sebelumnya, Mendagri mengeluarkan surat penting yang dialamatkan kepada Wali Kota Bontang Basri Rase pada Selasa (30/7/2024).
Surat tersebut memuat instruksi tegas agar Pemerintah Kota Bontang segera mencabut permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Surat bernomor 100.4.11/3538/SJ tersebut berkaitan dengan pembentukan beberapa wilayah administratif seperti Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang.
“Melalui surat ini, Kementerian Dalam Negeri menekankan bahwa penyelesaian permasalahan dalam pemerintahan haruslah dilakukan secara administratif dan internal antar lembaga, bukan melalui jalur hukum di peradilan,” bunyi surat tersebut. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post