Triyono, warga Desa Wonoromo, Pemalang, Jateng bernasib mujur. Ia lolos dari maut, setelah tiga hari mengapung di lautan tanpa makanan dan minuman.
ERIK ALFIAN, Balikpapan
Pagi-pagi sekali Triyono sudah bergegas. Hari itu, Rabu (21/6/2021). Sesuai jadwal, Triyono memang bakal berlayar selama 110 hari atau sekitar empat bulan ke depan untuk memancing cumi.
Pemuda 26 tahun ini sudah siap dengan perbekalannya. Beberapa hari sebelumnya, dia sudah berbelanja alat pancing, alat mandi serta persediaan untuk berlayar, termasuk rokok.
Ia berkisah, duit untuk membeli perbekalan dan alat pancing dia peroleh dari kapten kapal beberapa hari sebelum berlayar. Jumlahnya Rp 4 juta. Namun, lantaran menggunakan jasa calo, Triyono hanya mengantongi Rp 2 juta.
Menjelang jam 09.00 pagi, Triyono tiba di Pelabuhan Muara Baru, Jakarta Utara. Meski baru jam 9 pagi, pelabuhan sudah ramai dengan hiruk pikuknya.
Triyono tak sendiri, bersamanya ada empat kawan tongkrongannya. Mereka adalah Farid, Ikhsan, Juki dan Surya. Mereka juga bakal ikut berlayar memancing cumi.
Kepada media ini, Triyono mengaku mendapat tawaran kerja dari Aang yang merupakan saudara dari Farid. “Tapi kami memang saling kenal, karena teman satu tongkrongan,” ujar Triyono ditemui, Jumat (6/8) malam.
Triyono berujar sudah tak punya pilihan, lantaran sedang menganggur setelah terkena PHK dari tempat kerjanya.
“Sebelumnya saya kerja di toko mainan di Kawasan Senen. Tapi karena kebijakan PPKM, pengunjung berkurang, saya yang statusnya pegawai baru kena pengurangan,” kata Putra pasangan Casmo dan mendiang Nur Aenah ini.
Hidup seorang diri di Jakarta, Triyono tentu butuh pekerjaan untuk menyambung hidup. Tawaran jadi pemancing cumi memang cukup menggiurkan. Dia diiming-imingi bisa mengantongi hingga Rp 10 juta sepulangnya berlayar.
Rinciannya, Rp 4 juta sudah dia terima di awal dan dibagi dua dengan calo. Sisanya, Rp 6 juta seharusnya dia terima saat kapal berlabuh di Muara Baru, November nanti.
Jelang berangkat, Triyono dibuat kaget. Ia dipastikan tak sekapal dengan empat rekannya. Padahal awalnya, dia dijanjikan bakal sekapal.
Triyono akan berlayar menuju perairan Kalimantan dan akan berada di kapal selama 110 hari. Sementara empat rekannya ikut kapal tujuan Merauke, Papua. Selama 10 bulan.
Mengetahui bakal tak sekapal dengan rekan-rekanya, Triyono mulai ragu. Namun lantaran sudah kepalang tanggung, Triyono akhirnya tetap memutuskan naik kapal. “Nama kapalnya saya bahkan tidak tahu. Yang jelas warnanya biru dan merah,” kata Triyono.
Sekitar jam 09.00, perlahan kapal mulai meninggalkan dermaga. Tak ada lagi kesempatan Triyono untuk kembali.
Di atas kapal, ada 12 orang. Satu kapten, satu kepala mesin, satu koki dan sembilan ABK, termasuk dia.
Koki, delapan ABK, dan kepala kamar mesin disebut Triyono berasal dari satu daerah. “Cuma saya yang tidak sekampung sama mereka. Kapten kalau tidak salah dari Manado,” katanya.
Pemuda kelahiran November 1994 ini berkisah, sejak berlayar hingga hari kedua dia mengalami mabuk laut. “Karena tidak terbiasa naik kapal. Selain mabuk laut, saya sempat demam,” katanya.
Pada hari ketiga, Ia mengaku kondisinya sudah mulai membaik dan mulai memancing. Aktifitas memancing cumi, kata dia, selalu dilakukan petang hari, saat matahari mulai tenggelam dan berakhir saat fajar menyingsing.
“Setelah jangkar turun, kami mulai mancing. Setiap hari aktifitasnya seperti itu. Malam mancing, pagi tidur,” beber Triyono.
Memasuki minggu pertama, Triyono mulai tak betah. Sebabnya, friksi antara dia dengan sepuluh rekan kerjanya. Sejal awal, dia mengaku sudah dikucilkan sejak awal.
Sementara kapten kapal, disebut Triyono tak mau ambil pusing. “Sejak awal saya memang sudah diasingkan. Kalau kapten yang penting kami kerja,” ujar dia.
Saat itu, seperti hari biasa, setelah jangkar diturunkan dan lampu dinyalakan, mereka mulai memancing. Apes, senar milik Triyono nyangkut di senar pemancing lain.
“Padahal kalau yang nyangkut senar teman sekampung dia tidak marah. Tapi karena senar saya, jadinya kena marah terus,” keluh Tri.
Setelah kejadian itu, saban hari Triyono mendapat perlakuan dan ucapan tak menyenangkan. Bahkan saat makan, dia mengaku kerap disindir. Namun karena tak punya kawan, dia mencoba menahan diri dan pasrah.
Puncaknya, Minggu (1/8/2021) pagi, setelah sebulan lebih berlayar. Saat itu sekira pukul 09.00 WIB, kapal dalam posisi lego jangkar. Tri terbangun dari tidurnya. Ia melihat kru lain beserta kapten sedang terlelap setelah malam memancing cumi.
Tanpa pikir panjang, Triyono mengambil satu helai baju dan celana lantas memasukkan ke dalam tasnya yang berwarna krem. Ia kemudian memakai life jacket dan pelampung oranye.
Sejurus kemudian, Triyono melompat dari buritan kapal. Perlahan namun pasti, tubuh Tri yang mengapung terbawa arus menjauhi kapal.
Rupanya, dia sudah merencanakan melompat sejak Minggu dinihari. “Jadi malam itu saya ribut besar dengan kepala kamar mesin. Sehabis itu saya mulai berpikir untuk kabur (lompat) dari kapal,” beber Tri.
Sebelumnya Tri juga sudah mengamati kondisi sekitar. Saat kapal berlayar, dia sempat melihat daratan. Dengan memperhitungkan arus, dia memprediksi bakal tersapu hingga daratan.
Nahas, prediksinya meleset. Tak hanya membuat dia semakin jauh dari kapal, arus laut juga membuat ia jauh dari daratan “Iya prediksi saya salah. Arus tiba-tiba berubah arah, saya hanya bisa pasrah,” kata dia.
Meski gagal, tak terlintas perasaan kecewa. Ia lega, sudah tak berada di atas kapal. Malam pertama, dia terombang-ambing di lautan lepas di bawah cahaya bintang, Triyono mulai merenungi aksi nekatnya.
Namun apa lacur, nasi sudah menjadi bubur. Malam itu Triyono terpaksa menikmati kesunyian di tengah laut.
Belum selesai merenung, ia dibuat kesakitan karena disengat kawanan ubur-ubur. “Sampai sekarang masih gatal,” ujar Triyono sembari memperlihatkan luka bekas sengatan ubur-ubur di kedua tangannya.
Malam itu, Tri tak dapat memejamkam mata. Dia juga tak mendapati kapal melintas malam itu.
Memasuki hari kedua, rasa lapar mulai menyerang. Apes, lantaran buru-buru, ia tak kepikiran membawa makanan dan minuman saat melompat dari kapal. Ia terpaksa menahan lapar dan dahaga.
“Saya sempat nangis. menyesal kok bisa senekat ini, tapi gimana sudah terlanjur. Saya cuma berdoa supaya tidak mati sia-sia di sini (laut),” kata dia.
Malam harinya, Tri melihat sejumlah kapal besar melintas. Dari pengamatan, dia menduga kapal- kapal tersebut adalah kapal tanker.
Namun dari sekian yang melintas, Tri menyebut ada satu kapal yang berada di jarak cukup dekat. “Saat itu kira-kira jam 2 atau jam 3 pagi. Jarak kapal mungkin sekitar 20-an meter,” ujarnya.
Melihat ada kapal yang cukup dekat. Tri mulai berteriak minta tolong dan meniup peluit. Sayang, kapal tersebut tak menggubris.
“Saya cukup yakin ada kru yang melihat, tapi mereka tidak mau menolong,” katanya.
Tak berhasil mendapat pertolongan, Tri mulai putus asa. Bahkan, dia sempat berpikir tak punya harapan selamat. Saat itu posisinya sudah menggigil kedinginan.
“Kepikiran keluarga di kampung, kepikiran semua. Kayanya udah engga bakal selamat saya ini,” tutur dia lantas tertunduk.
Ia makin putus asa, sebab saat fajar mulai menyingsing hingga siang bolong tak satupun kapal melintas. Apalagi dia mulai semakin lapar dan lemas.
Belum lagi, dia mulai melihat gumpalan awan hitam mulai mendekat disertai gerimis. “Udah saat itu saya tambah pasrah, kayanya bakal mati di sini. Karena saat itu sudah tanda-tanda bakal ada badai,” kisahnya.
Namun takdir berkata lain, saat nyaris tertidur, tiba-tiba saja dia mendengar ada suara dari arah belakang. Sontak dia terbangun dan menoleh ke belakang.
Rupanya, suara tadi berasal dari kapal tanker MT Royalty yang sedang berlayar menuju perairan Kaltim, jaraknya barang 100 meter dari lokasinya.
Tak mau buang waktu, Tri langsung berenang sekuat tenaga berusaha memotong jalur kapal. Sesekali dia berhenti dan melambaikan tangan sambil berteriak hingga suaranya parau. “Tolong, tolong, tolong,” teriak Tri.
Beruntung kapal juga sedang mengarah ke lokasinya, sehingga Tri akhirnya dilihat oleh kru kapal. Kapal akhirnya lego jangkar, pelampung dilempar, Triyono kembali berenang dan memeluk erat pelampung tersebut.
“Lega dan bersyukur ada yang menyelamatkan saya,” katanya.
Tak lama, kru MT Royalty menarik pelampung mendekati badan kapal. Triyono lantas diangkat ke atas kapal. Saat ditemukan, Triyono mengenakan kaos hitam, celana jins hitam, life jacket dan pelampung. Kondisinya lemas, kulit wajahnya mengelupas terpapar matahari, sementara telapak tangannya sudah memutih karena terlalu lama terendam air.
Triyono diselamatkan Selasa (3/8/2021) sekitar pukul 4 sore di Laut Jawa, tepatnya di perairan Tanjung Malatayur, Kalimantan Tengah, setelah tiga hari dua malam bertahan hidup tanpa makanan dan minuman.
Dia kemudian mendapat perawatan dari kru kapal selama dua hari. Sebelum akhirnya dijemput Basarnas Kaltim, di Perairan Teluk Balikpapan, Jumat (6/8/2021).
Tri mengaku lega, akhirnya bisa sampai daratan dan bebas dari kapal tempat dia bekerja. Dan yang paling utama, Tri bersyukur bisa selamat dari aksi nekatnya tersebut.
“Saya juga terkesan dengan kebaikan kru kapal dan kapten kapal MT Royalty. Selama di kapal saya sangat diperhatikan,” katanya.
Triyono juga mengaku mendapat pelajaran berharga dari kejadian yang menimpanya ini. Selain mendapat kesempatan kedua untuk hidup, ia mengaku tak bakal lagi ceroboh dan pikir pendek.
“Waktu telpon keluarga, saya malah diolokin sama ponakan karena dianggap konyol,” katanya lantas tertawa.
Satu lagi, dia mengaku kapok ikut berlayar bersama kapal. “Biar ini jadi pengalaman sekali seumur hidup. Saya cari kerjaan lain saja,” ujarnya.

DITAMPUNG TETANGGA SATU KAMPUNG
Aditya Dendi sedang sibuk mengurus kedatangan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto di Hotel Gran Senyiur, saat muncul pemberitahuan di WhatsApp grup warga Desa Wonokromo Kamis, (5/8/2021) siang.
“Monitor Mas Dendi” begitu isi pesan di grup WA dari Kades Wonokromo, Kecamatan Comal, Pemalang Jateng.
Melihat namanya disebut, Dendi yang sehari-hari bertugas di Ditreskrimsus Polda Kaltim jadi tak tenang. “Sebab terakhir saya dikontak, saya dapat kabar ibu saya kecelakaan. Makanya waktu kemarin di kontak, saya sudah kepikiran lagi,” katanya.
Dendi lantas menelepon kepala desa. Rupanya, kades mengabarkan ada warga Desa Wonokromo yang diselamatkan kapal tanker sedang dalam perjalanan menuju perairan Balikpapan. Kades juga meminta Dendi untuk mengurus warga desa tersebut.
Belakangan diketahui, warga tersebut adalah Triyono. Sang kades, kata Dendi, mendapat informasi setelah video dan foto Triyono tersebar di Facebook.
Saya memang satu desa tapi beda RT dan tak mengenal keluarga mas Triyono. Meski tercatat sebagai warga Desa Wonokromo, sejak umur 14 tahun Triyono sudah tinggal di Jakarta bersama mendiang ibunya.
Mendapat info tersebut, Dendi lantas mengontak relasinya di Polsek Semayang. Polsek Semayang kemudian menghubungi kapten kapal MT Royalty, kapal tanker yang menyelamatkan Triyono.
“Ternyata kapal tidak sandar ke Balikpapan,” ujar Dendi.
Akhirnya, Kepolisian Sektor Pelabuhan Semayang meminta bantuan Basarnas untuk melakukan penjemputan, Jumat (6/8/2021).
Dendi jugalah yang mendampingi Triyono sejak tiba di Dermaga Pelabuhan Chevron hingga menjalani pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Bhayangkara.
“Kondisinya bagus, tak ada penumpukan cairan di paru-paru,” kata dia.
Selama di Balikpapan, Triyono ditampung di kediaman Dendi di Perumahan BDS. Rencananya, Triyono bakal dipulangkan ke kampungnya di Pemalang.
“Nanti akan diupayakan vaksin dan tes PCR untuk persyaratan naik pesawat. Mungkin pekan depan yang bersangkutan baru bisa kembali ke Pemalang,” tuntas.
Meski mendapat perlakuan tak enak, Dendi menyebut tak ada kekerasan fisik yang dialami oleh Triyono selama berlayar. “Hanya KTP asli ditahan kapten kapal,” terang Dendi. (*)